2/25/19

Gen Z Preneur, Boost Your Impact

Ladies

Sepertinya acara ini terlewat throwback ya. Acaranya udah lewat kapan, eh baru ditulisnya kapan. Hehehe... Lebih baik terlambat kan, daripada tidak sama sekali. Setidaknya orang bisa mengenang dan dikenang melalui sebuah tulisan. Ciaaat. Lanjut.
Revindia Carina - Ibu Arumi Bachsin - (me)
Yaps, acara di penghujung 2018 lalu. Acara pertama, dan sepertinya yang terakhir bagi kami. Tidak menduga bisa menginisiasi kegiatan dengan sebegitu singkat untuk persiapan, jutaan drama ketika pelaksanaan dan pemateri maha keren yang kala itu menjadi bintang tamu kenyataan.

Menginisiasi sebuah acara mahasiswa yang berkesan, tidak ecek ecek, patut dikenang dan tentunya berfaedah tentu tidak mudah. Apalagi niat semula sungguh mulia, "ah supaya almamaterku dikenal baik karena bisa menghelat acara kece", tapi karena drama kumbara niat ini seketika PUDAR by Rossa. Alasan keterbatasan dana menjadi alasan klasik yang jenuh didengar apalagi di kampus ITATS (Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya), wah 'segojangan'. Dana ormawa sebesar nol rupiah, 'tedeng aling aling' support oleh 'petinggi' berupa konsumsi untuk kegiatan senilai dua jutaanlah (semoga tidak salah ingat). Ini dari petinggi ya, harusnya berbeda dengan dana ormawa. Sungguh kami buta birokrasi, lantas alokasi dana yang jadi hak ormawa itu kemana "jalan-jalannya" kami sudah @$%&*^#@ tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata manis nan elok. Sudah berusaha mencari penjelasan ke bidang kemahasiswaan, namun hanya pilu yang dirasa.

Eits... drama ini belum lagi ditambah alasan konvensional berikutnya yang mahasiswa merasa sok sibuk seolah kewalahan untuk membagi waktu antara kegiatan akademis dan non akademis. "Lha terus ngapain join organisasi kalau nggak 'becus' bagi waktu?". Silahkan dijawab sendiri.

Acara yang diawali dengan business plan competition yang diikuti oleh mahasiswa lintas jurusan, presentasi, hingga sesi sharing dan company visit ke store Sego Njamoer dan Aexpi Pet Shop, menyenangkan sudah terlaksana dengan baik. Sekalipun tidak sepenuhnya sempurna. Dilanjutkan dengan perayaan puncak tanggal 11 Desember 2018, public speaking workshop dan talkshow bersama 2 narasumber hebat.

Pemberian workshop untuk keterampilan berbicara di depan umum ini diberikan bukan tanpa alasan. Empat tahun berpengalaman menjadi anak 'teknik', bersosialisasi dengan makhluk 'logic' dan berkesan "kaku" menjadi pertimbangan kami. Pasti sudah familiar dengan kiasan klasik, "anak jurusan teknik akan jadi pegawai ahli, tapi anak jurusan sosial akan jadi pemilik perusahaannya". Kenapa begitu? Sense of communication anak teknik memang kontras berbeda. Percaya atau tidak, komunikasi memberi pengaruh pada karir dan kehidupan sehari-hari. Public speaking tidak hanya belajar tentang bagaimana kita berpidato, tapi bagaimana kita 'memanusiakan' manusia ketika berinteraksi dengan sesama. Ya tentu ini tidak berlaku untuk semua muanya anak teknik. Tapi begitulah pengalaman personal dan juga slentingan adik kelas, "kenapa ya mbak kalau anak teknik itu kaku kalau presentasi?". Jreeeeng.



Selain itu, turut hadirnya dua narasumber maha keren melengkapi ke-kece-an acara Gen Z. "Kok bisa ngundang beliau-beliau?", ya karena niat mulia yang akhirnya pudar tadi lho. Ah ya sudahlah.

Pesan dan sharing pengalaman dari bagaimana seorang 1st Puteri Pariwisata Indonesia 2017, Revindia Carina membagi waktunya antara pendidikan dan prestasi tentu menjadi stimulus untuk mahasiswa ITATS, terutama yang sok sibuk memiliki segudang aktivitas. Dan cerita menarik Ibu Arumi Bachsin, bagaimana di usia yang terbilang seumuran denganku selisih 1 bulan  masih muda memposisikan diri untuk berhadapan dan berinteraksi dengan berbagai kalangan ketika bertugas di Kabupaten Trenggalek menjadi motivasi bagaimana seorang anak muda mampu menjadi bunglon dengan tanpa menyiksa diri sendiri untuk menjadi orang lain. Etika dan skill berkomunikasi menjadi bahan utama dalam membangun sinergi yang baik.

Nggak bisa dituliskan secara persis pengalaman saat itu, tapi melalui tulisan ini setidaknya bisa sedikit mengenang. Terima kasih Revindia Carinda dan Ibu Arumi Bachsin sudah sukarela untuk membantu menyukseskan acara ini. Kesediaan kalian menjadi sedikit pelipur lara atas lelah dan perasaan tidak diapresiasinya "anu" #@&%* oleh mereka yang namanya tidak boleh disebut.

Tim huru hara Duta ITATS (nggak full team, ada yg kuliah Hehe)
Liputan Gen Z Preneur, SBO TV


Semoga pengalamannya berkah ya teman-teman.
Karma tidak salah alamat. Kalau nggak viral, nggak jadi pusat perhatian. Eeeeaaaaaaa.

Terima kasih sudah mampir. Sukses untuk semuanya!

(Adm/Zan)

Frontstage or Backstage?


Ibarat Raffi Ahmad, ya artis, ya produser, ya sutradara. Ya yg berperan di depan layar, ya yg di belakang layar juga. All in one. Irit. Satu orang untuk semua peran. Hakzz.


Kalian lebih suka di belakang layar atau di depan layar?



Ehm.. Kalau belakang layar,gak kelihatan.Kalau di depan layar,nutupi mbak *eh
Bukan bukan :P 😁



Kalau pinjam istilah teori dramaturgi dari Goffman, ada sebutan frontstage dan backstage. Front stage merupakan panggung depan di mana seseorang memainkan peranan tertentu di depan penonton. Sedangkan backstage diartikan sbg wilayah pertunjukkan yang cenderung tidak dilihat dan tidak dipertontonkan di front stage.



Eh, tapi di tulisan ini bukan mau bahas soal dramaturginya.



Jadi, sensasi di depan dan belakang panggung memang kontras berbeda. Ibaratnya nih, misal yg belakang panggung bisa 'angop sewayah-wayah' (red: menguap ngantuk sewaktu-waktu), nggak perlu make up, baju official senyaman mungkin untuk wira wiri kitiran. Eits... tapi kalau di depan panggung, harus paripurna from head to toe, make up menter, bahkan ibarat tarik nafas aja harus pakek manner. Hehe...



Ini bukan soal mana yang lebih penting. Yang di belakang panggung juga menyokong kesuksesan pemeran yang tampil di depan panggung. Nah yang di depan panggung, ibarat bak 'eksekutor' dari apa yang tim belakang panggung siapkan. Keduanya sama-sama penting.



Kalau dalam organisasi, nggak bisa kalau semua anggota maunya on stage, maunya tampil semua. Wuhuuuu bisa rebutan panggung tsayyyy. Misal dalam produksi program televisi, nggak ngebayangin kalau kameramen semuanya mau tampil di depan kamera. Hehehe... Atau semua maunya backstage, nah terus yang jadi jubir siapa? Atau untuk acara tertentu nggak ada talent, siapa yg ambil peran kalau bukan internal organisasi itu? Nah, jadinya saling melengkapi.



Ada nasehat lama,"Cewek itu kalau diajak susah nggak nyusahin, kalau diajak berkelas nggak malu-maluin". Ehmm.... sepertinya kata bijak ini bisa diterapkan untuk mewakili analogi peran backstage-frontstage ini.



Kita bisa kalau diperlukan untuk muncul di depan atau on stage. Tapi juga siap kalau harus susah di belakang/backstage. Ya, gulung kabel dan junjung kursi misalnya *eimmm :P 😂



Tapi, kalau kamu lebih nyaman di tim front-stage atau backstage nih?


Terima kasih sudah mampir.