11/17/17

AKANKAH MEDIA CETAK BERTAHAN?



Yeay, hari ketiga korban resign. Kalau biasanya jam 10 pagi adalah jam sibuk kantor, karena sudah out bisa ikut kuliah tamunya Pak Dahlan Iskan. Maaf, opening sama judul nggak nyambung. Kita langsung mulai saja.

Rabu (15/11) kemarin tepatnya di Aula Soetandyo FISIP UNAIR, Bapak Dahlan Iskan selaku CEO Jawa Pos Group hadir di tengah-tengah mahasiswa UNAIR dan memberikan wawasan serta diskusi menarik terkait keberadaan media cetak seperti koran di tengah maraknya online news. Sebelum kuliah tamu dimulai, jenis audiens dibagi menjadi 2 blok. Blok kiri untuk mahasiswa yang percaya bahwa koran akan tetap hidup, dan blok kanan adalah mahasiswa yang percaya koran akan mati. Dari masing-masing blok, Pak Dahlan meminta perwakilan masing-masing 2 orang untuk blok kiri dan blok kanan dan maju ke depan untuk menyampaikan opininya.


“Mbak bisa dijelaskan, kenapa menurut mbak koran akan tetap hidup?”

Saat itu saya duduk di blok kiri dan maju bersama salah satu mahasiswa S3 UNAIR (maaf namanya lupa hehehe), kami pun mengutarakan pendapat kami.

Menurut rekan saya dari S3 UNAIR mengatakan bahwa koran akan terus ada, terutama dia menyoroti perihal koran yang tumbuh di daerah-daerah atau koran lokal. Berita atau fenomena-fenomena daerah ini justru kurang menjangkau ke masyarakat jika dimuat melalui online news. Karena segmen koran tersebut adalah media informasi dan pemberitaan untuk masyarakat daerah sendiri. Belum lagi kendala masyarakat daerah yang asing dengan internet, jangankan membaca online news, mengaksesnya saja susah.

Sedangkan menurut saya, justru online news ini karna arusnya terlalu bebas akhirnya tidak ada tanda yang memberi pembeda mana yang kredible dan tidak. Apalagi sentuhan kreatif netizen jaman now yang kalau sudah komentar atau populer disebut julid lebih seru disimak daripada berita yang diunggah. Akhirnya pembaca bisa saja terprovokasi dengan keberadaan netizen yang julid tadi. Jika membaca berita di media cetak, saya merasa benar-benar bisa membaca dengan tenang berita yang disajikan. Terbebas dari netizen yang nyinyir, terlebih lagi berita apapun yang ditulis di media cetak pasti terpercaya. Pemaparan artikel sudah melalui editor, jurnalisnya pun sudah pasti memiliki kredibilitas. Dan yang terpenting, bukan berita hoax seperti yang marak beredar di dunia maya.
Lalu, dua teman saya dari blok kanan memaparkan beberapa data statistika yang saat ini prosentase untuk pembaca koran sudah sangat sedikit dan diperkirakan beberapa tahun ke depan akan semakin sedikit bahkan habis.

Menanggapi pendapat-pendapat ini, Pak Dahlan mulai menceritakan hasil pengamatannya di beberapa negara yang justru masyarakatnya merupakan 100% pengguna internet tetapi bisnis koran masih tetap ada dan bertahan hingga saat ini. Seperti contoh di Finlandia dan Amerika. Beliau juga mengatakan bahwa wacana koran akan mati sudah muncul sejak tahun 1800-an. Koran merupakan media massa yang paling tua. Saat muncul radio, keberadaannya diramalkan akan mematikan koran. Karna saat itu dianggap radio dapat menyampaikan berita lebih cepat. Dan memang beberapa bisnis koran akhirnya mati. Tapi ada juga beberapa koran yang juga masih hidup. Kesimpulannya, radio tidak mematikan koran. Begitu juga saat muncul televisi. Koran dan radio diramalkan akan mati dengan hadirnya televisi. Namun sekian puluh tahun kemudian, koran dan radio tetap hidup. Memang ada yang mati, tetapi tidak semuanya. Kemudian muncul internet dengan live streaming. Kehadirannya juga memprediksi matinya koran, radio dan televisi. “Tapi ternyata tidak ada yang mati”, ujarnya.

Pak Dahlan juga menyatakan bahwa online news yang 'menghasilkan uang' hanya beberapa saja seperti detik.com dan kompas. Ribuan situs online news tidak menghasilkan keuntungan sama sekali. Hal ini disebabkan oleh dampak psikologi seseorang ketika mengakses dan membaca online news adalah gratis. Kita tidak perlu membayar untuk akses berita tersebut. Banyak masyarakat berpikir bahwa pemasukan situs online news berasal dari pemasukan iklan. Padahal iklan pun tidak seperti yang orang bayangkan ketika pasang iklan lalu bayar. Dalam perushaan untuk memutuskan memasang iklan perlu atau tidak perlu dilakukan, harus dikaji lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan. Bahkan penghasilan online news milik Kompas hanya 10% dari penghasilan koran cetaknya sendiri. Ini kenyataan yang menyimpulkan bahwa koran tidak akan mati. Syarat yang menentukan koran tidak akan mati adalah manajemen dan pemilik.


Setiap membaca berita tentang “koran mati”, maka salah satu penyebabnya karena manajemen koran itu jelek. Atau pemilik yang hanya berorientasi bisnis maka akan setuju untuk mematikan dan beralih ke online. Atau pemilik hanya untuk mencari pengaruh (eksistensi) supaya menang Pilkada. Tetapi jika sikap pemilik untuk mengutamakan keadilan, kepentingan umum, maka akan berbeda. Karena pada dasarnya koran ini adalah perjuangan banyak orang.

Pemilik koran yang berlatar belakang jurnalis dan menjunjung tinggi kode etik, pasti koran ini cenderung sustain dan terus akan tetap hidup.

Media cetak memang banyak kelemahan, seperti produksinya membutuhkan kertas, distribusi ke rumah-rumah, dll. Belakangan Pak Dahlan menemukan langkah, yang semula juga pesimis. Bahwa agar koran bisa terus tetap hidup, koran harus menjadi clearing house. Disaat orang tidak percaya dengan berita yang dimuat di online news karena kredibilitasnya, maka koran hadir dengan sumber terpercaya.

(Admin/Zan)