6/1/18

Disruption Era : Untung atau Buntung?

Perkembangan teknologi saat ini memicu banyak perubahan di berbagai aspek kehidupan. Seperti perubahan pada sektor pendidikan, transportasi, ekonomi dan lain-lain. Pada kenyataannya, seiring perkembangan dan inovasi yang terus diupayakan tidak hanya berdampak pada canggihnya teknologi itu sendiri tetapi juga berpengaruh terhadap aspek sosial masyarakat. Seperti cara manusia terhubung antar satu dengan yang lain, interaksi antar organisasi masyarakat, hingga bagaimana cara berbisnis dengan sistem-sistem baru. Namun kehadiran inovasi ini ternyata tak selalu dirasa menguntungkan, beberapa pihak di sektor tertentu perubahan yang disebabkan oleh inovasi ini justru mengacaukan (disruption) (Mayling Oey-Gardiner, 2017).

Istilah disruption atau disrupsi saat ini menjadi topik yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini. Meskipun sebenarnya istilah ini sudah lama diperkenalkan dengan konsep disruptive innovation atau inovasi yang mengganggu. Konsep disruptive innovation ini pertama kali diperkenalkan oleh Clayton M. Christensen, seorang profesor di Harvard Business School dan Joseph Bower tahun 1995. Christensen memperkenalkan konsep ini awalnya dari perkembangan teknologi yang disebut dengan istilah teknologi yang mengganggu. Inovasi ini dinilai sebagai pendatang baru yang mengganggu perusahaan incumbent yang sudah mapan (Edy Suandi Hamid, 2017). Menurut Christensen, disruptive innovation menggambarkan proses dimana pada awalnya pendatang baru baik penyedia barang atau jasa berakar dalam aplikasi sederhana pada bottom of a market dan kemudian tanpa henti bergerak naik ke pasar, akhirnya menggeser pesaing atau perusahaan yang sudah mapan.


Arry Rahmawan (2017) menyebutkan bahwa era disruptif diartikan sebagai era dimana banyak inovasi-inovasi yang muncul dan tidak disadari inovasi tersebut mengganggu jalannya aktivitas dari tatanan sistem konvensional bahkan mengganti hingga menghancurkan sistem konvensional tersebut. Sedangkan Nisrin Husna (2017) mengemukakan, disruption era sebenarnya merupakan sebuah inovasi dimana dalam era ini segala sesuatu terjadi secara random dengan memberikan kemudahan bagi siapapun untuk melakukan apa saja di dunia maya dengan begitu mudah, namun juga bisa jadi berbahaya. Dampak yang muncul akibat era ini adalah membentuk kebiasaan publik kepada kemudahan-kemudahan seperti saat membeli makanan, mendapatkan alat transportasi, berbelanja dan kemudahan lainnya. Muliaman D. Hadad (2017) juga mengemukakan bahwa disruptive innovation adalah sebuah inovasi yang berhasil mentransformasi suatu sistem atau pasar eksisting, dengan memperkenalkan kepraktisan, kemudahan akses, kenyamanan, dan biaya yang ekonomis.


Bukti bahwa era disrupsi akan terjadi juga diprediksi oleh Bill Gates (1994), "...banking is necessary, banks are not...". Hal ini cukup menggambarkan bahwa perbankan akan bergerak ke arah virtual tanpa adanya wujud bank secara fisik.


Adanya inovasi-inovasi yang mempengaruhi perubahan zaman dengan sangat cepat tak hanya berpengaruh terhadap dunia teknologi saja. Seperti dunia teknologi yang mendisrupsi aspek dunia bisnis. Tetapi pada kenyataannya, inovasi ini juga mendisrupsi profesi sebagai seorang humas atau public relation. Era disrupsi ini mempengaruhi bagaimana cara seorang PR bekerja dan berkomunikasi. Pengaruh disruption era  terhadap profesi public relation juga disampaikan Nisrin Husna (2017) bahwa seorang PR tidak lagi hanya merujuk pada  press agentry dan publicity tetapi juga harus mampu menguasai trend media daring dalam proses engagement dan relationship building dengan publiknya. Hal ini memperkuat adanya fakta bahwa krisis yang terjadi pada suatu perusahaan atau organisasi tidak hanya dibatasi dengan hal-hal fisik semata namun juga terjadi dalam dunia digital. Sebagai contoh pada tahun 2016 website operator seluler Telkomsel diretas oleh oknum yang disinyalir pelanggan yang merasa tidak puas dengan harga layanan provider tersebut dan menuntut penurunan harga. Dalam waktu singkat fenomena ini menjadi viral bahkan memicu opini publik lainnya di dunia maya.


Berdasarkan fenomena tersebut seorang praktisi PR dituntut membekali diri dengan pengetahuan dan strategi seiring dengan zaman yang semakin berkembang. Dalam unggahan berikutnya, admin akan membahas mengenai bekal seorang praktisi PR di era disrupsi.




****



Beberapa bacaan yang menjadi bahan referensi :
1. Arry Rahmawan, Founder CerdasMulia Institute
2. Laksamana, Agung. 2018. Public Relations in the Age of  Disruption. Jakarta : Mizan Digital Publishing
3. Husna, Nisrin. 2017. Public Relations di Disruptions Era. www.binus.ac.id. Diakses 1 Juni 2018 pukul 08.53 WIB
4. Financial Technology (FinTech) di Indonesia oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Muliaman D. Hadad, Ph.D

(Admin/Zan)