10/14/17

Fenomena RDG di Dunia Kerja


Saya rasa urusan dedikasi itu seperti urusan ibadah. Cukup dia dan Pencipta yang tahu. Karna bukan saya yang ngegaji dia, dan saya hanyalah remahan tahu bulat jadi saya memang tidak ada hak dan wewenang untuk bertindak lebih dari sekedar "mengingatkan". Bahkan untuk mengingatkan pun saya harus lewat perantara Team Leader, tidak bisa secara langsung. Kenapa? Ya, bukan ranah saya dan mungkin karena saya bukan yang ngegaji dia, nggak bisa ngatur aneh-aneh. Hehehe... ketika nekat diperingatkan langsung pun akan terjadi fenomena alamiah yaitu RDG alias RA DIGANCENG atau artinya terabaikan. Screenshoot ini hanya secuwil masalah yang sengaja diupload untuk contoh. Ratusan cuwilan lain cukup disimpan, sebagai koleksi drama drama kehidupan dan nanti akan diceritakan kepada anak dan cucu kesayangan. Selamat datang di dunia kerja. Selamat menikmati segala drama kumbara dan drama durjananya.
Ketika prestasi bisa dikalahkan dengan RELASI. Ya, memang tidak semua begitu, tapi tidak memungkiri ya memang ada yang seperti itu.
Lalu yang menang relasi ini berlaku "sak karep udele dewe" (semaunya sendiri). Saya ceritakan dulu kronologi screenshoot ini. Jadi tanggal 26 September saya menyampaikan pengaduan tentang gangguan perangkat dan permintaan migrasi ke koordinator, sebut saja dia Voldemort. Saya langsung sampaikan ke koordinatornya. Ya saya husnudzan saja, karena terkirim dan sudah dibaca nanti pasti akan ditindak lanjuti. Dan seperti biasa jika ada kendala pasti akan konfirmasi, contoh "Ini nggak bisa karna X, ini kendala Y, dst". Jika tidak ada report, berarti permintaan pelanggan langsung dieksekusi. Kadang ada petugs lain selesai/tidak selesai, selalu konfirmasi. Sehingga koordinasi tim seimbang dengan komunikasi dua arah. Tapi berbeda dengan yang kali ini. Ternyata, pelanggan tersebut hari ini kembali lagi karaokean (alias komplain) di istana direct service ini karena keluhannya belum terselesaikan. Nah, konfirmasi lah saya ke Voldemort untuk memastikan. Jangan-jangan tidak dieksekusi karena jaringan sedang bermasalah atau kendala sistem lain. Dan seperti Inilah chatnya. Hmmtalaaahhhh. Seolah-olah karena saya laporannya banyak, akhirnya RDG tadi. Ya gimana ya, kami kerja di perusahaan yang kalau saya baca di internet "perusahaan terbesar di Indonesia", ya pelanggannya banyak. Hal itu pun berbanding lurus dengan pengaduan atau laporan pelanggan yang pasti banyak juga setiap hari. Kecuali dia jualan softdrink di kantin sekolah SD, pasti nggak akan dapat keluhan banyak. Dan belakangan saya mengetahui ada fakta lain terkait 'relasi' Voldemort yang begitulah pokoknya. Tidak perlu dibahas yang poin ini. Saya tidak akan membahas soal Voldemort ini. Pasti ada hal 'lain' yang membuat seseorang seperti itu. Saya pernah berdiskusi dengan beberapa rekan yang berbeda penempatan kerjanya, ya memang alasannya macam-macam. Ada yang sedikit mengulik perkara gaji, aturan pusat, dan hal-hal 'ruwet' yang saya sendiri pun belum megetahui semuanya. Tapi di postingan ini, aaya hanya ingin berbagi pola pikir perkara dedikasi ini. Bukan semata-mata perkara kasus di chat itu. Nah, dedikasi ini jika dibahas akan susah ditentukan variabel untuk dikuantitatifkan. Begini, ketika kamu bekerja atau aktif di kegiatan apapun (sektor organisasi/komunitas/dll), pahami dengan siapa kamu terlibat, dan selain bertanggung jawab langsung ke Pencipta, ke siapa lagi?
Misalkan kamu bekerja di bidang pelayanan, maka imbasnya akan di pelanggan. Kasus Voldemort ini sebenarnya tidak ada masalah antar petugas (secara internal), tapi karna koordinasi yang abu-abu itu berakibat dzalim ke pelanggan. Voldemort tidak ada salah ke saya, saya pun nggak merasa sensi terhadap dia. Tapiiiiii apakah karena ini yang notabenenya pengaduan orang lain, nggak dikenal, t'rus belum ditindak lanjuit? Kan ya tidak. Ya, jangan naik tinggi dengan menginjak orang lain lah. Karma itu bertindak diam-diam lho. Ya human error seringkali terjadi, tapi komunikasi dan koordinasi dua arah akan meminimalisasi kesalahpahaman, apalagi terkait evaluasi. Ini kasusnya masih soal koordinasi yang mungkin karena faktor X akhirnya tidak terjadi koordinasi dua arah, belum lagi urusan petugas yang baperan. Wuhuuu ini seru sekali. Mungkin merasa bapernya tidak terbalas, akhirnya ngambek nggak jelas, dichat nggak dibuka berbulan-bulan. Padahal chat bukan caper tapi memang work order. Itu menyampaikan pengaduan pelanggan lho. Akhirnya yang dirugikan adalah .... (isi sendiri). Ehmmmm... memang dewasa nggak bisa diukur dari usia. Ini untuk pekerjaan atau kegiatan apapun.
Yang bekerja dan berkarya penuh dedikasi+totalitas, tidak dapat uang lembur atau bahkan diapresiasi. Tenang. Rezeki datangnya tidak selalu dalam bentuk uang atau sertifikat prestasi. Mungkin dikemas lebih cantik. Bisa jadi rezeki berupa kesehatan, didekatkan dengan passionnya, dikelilingi teman-teman yang baik, dimudahkan jodohnya, ditepat waktukan lulus kuliahnya, dll. Lakukan semaksimal mungkin, sebisa mungkin. Ya kalau ada kesalahan selama penanganan, selama memang ditangani sebaik-baiknya, itu ranahnya bukan 'tidak berdedikasi'. Sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi sesama. Dan menjadi berguna terhadap sesama bisa jadi salah satu caranya adalah ikut empati dan membantu menyelesaikan masalah (keluhan) orang lain. Ya udah lah Bel, ngapain mikirin Voldemort yang jelas-jelas nggak mikirin kamu?
"Negara ini hancur bukan serta merta karena berandalan. Tapi karena generasi yang cuek dan diam padahal tahu jelas soal kebenaran."
Kira-kira begitulah analogi jawaban saya. Bayangkan, ini 1 Voldemort. Kalau dibiarkan tidak dicoba Untuk diingatkan, dan orang lain ikut-ikutan, misal nular ke 10 Voldemort saja, bagaimana kira-kira dampaknya?
Dan selalu tidak ada ruginya untuk saling berbagi dan mengingatkan.
Mungkin di luar sana banyak kasus sejenis, tapi karena malas nulis panjang akhirnya hanya disimpan dalam hati. Terima kasih sudah membaca.
Ambil yang baik-baik saja. Sabtu, 14 Oktober 2017

*******

Postingan ini pasti dibaca oleh pembaca dengan ragam pola pikir dan sudut pandang. Secara pribadi, penulis tentu tidak bisa memanjakan semua kalangan yang memiliki pemikiran berbeda-beda. Mungkin ada yang sepakat, ada yang berselisih paham, berbeda pendapat, atau tidak sepakat dengan opini yang saya tulis. Kalian bisa memberikan saran dan masukan bijak untuk penulisan postingan saya berikutnya agar lebih baik melalui email zanzabela@yahoo.com. Semoga poin untuk pembahasan dedikasi ini bisa dijadikan pengingat untuk pekerjaan atau kegiatan apapun. Tidak ada tendensi untuk menjatuhkan pihak manapun. Terima kasih yang sudah memberikan saran/nasehat bijak.
10/1/17

Teori Gebyah Uyah Pengamen

Sekarang saya sedang duduk di bus Pelita Indah jurusan Surabaya-Trenggalek (keberangkatan sekitar pukul 03.00 WIB dari terminal Bungurasih). Sekitar 10 menit sebelum postingan ini ditulis, ada pengamen dalam bus yang dengan 'bijaksana' berkata "Owalah Mbak..nggak cocok sama jilbabnya. Sampean kayak gitu itu bukan Islam". Celetuk lantang pengamen.

Setelah ditelisik, perkaranya karena ada seorang penumpang berjilbab tidak memberi uang kepada pengamen tadi.
Kira-kira beginilah potret masyarakat sumbu pendek yang berkeliaran di luar sana. Seolah-olah punya alat ukur sendiri dimana dengan mudah memberi label kepada orang lain, bahkan perkara agama yang jelas-jelas itu urusan seorang Hamba dengan Pencipta-nya.

Cara pandang pengamen itu, dengan cara pandang saya dan juga cara pandang kalian sebagai pembaca tulisan ini tentu berbeda. Walaupun seperti ini, sebagai seorang pengamen pun menurut saya juga kurang tepat jika tiba-tiba berperan instan sebagai 'hakim agama' di dalam bus. Ini bukan syuting sinetron bung, dimana 1 aktor bisa memerankan peran dokter, polisi, jaksa di sinetron.

Jika si penumpang tadi salah, lantas apakah si pengamen itu benar? Profesi 'pengamen' nya saja masih dipertanyakan, kalian tentu paham apa maksud yang saya sebut dipertanyakan ini. Dan bukan ini yang mau saya bahas.

RIP mental positif.

Mungkin ini yang benar-benar sedang darurat diderita masyarakat sumbu pendek. Dan orang-orang seperti ini bisa saja sangat vokal, ber-drama dengan peran seolah-olah paling teraniaya. Sehingga yang terekspose adalah tagline penumpang berjilbab tidak mau bersedekah.

Duh kah, seenaknya saja memakai teori gebyah uyah (menyama ratakan), dimana pengamen itu berasumsi bahwa seorang penumpang berjilbab yang tidak memberi uang dianggap bukan Islam. Saya juga tidak mengingkari realitas ketika di luar sana mungkin memang ada orang yang memilih tidak mau bersedekah pada pengamen atau realitas orang pelit. Tapi kan belum tentu penumpang tadi. Belum tentu penumpang berjilbab tadi pelit. Lagipula pengamen yang keluar masuk bus jumlahnya banyak, penumpang memberi secara random belum tentu semua diberi. Kebetulan saja pengamen itu yang tidak diberi. "Kok ya pas bukan rezekimu paling pak", batinku.

Ya, pengamen itu pun tidak akan pernah punya pikiran bahwa mungkin penumpang yang dia tuduh tadi punya versi bersedekahnya sendiri.

Mungkin di panti asuhan atau lainnya. Dan di jaman sekarang, lembaga penyalur zakat dan sedekah yang mengalokasikan sedekah dari donatur untuk social empowering itu banyaaaakkkkk. Harapannya, sedekah tidak serta merta habis diberikan dalam bentuk uang dan oleh penerima sedekah hanya dibelanjakan senbako dan sudah, amblas. Sedekah diberikan dalam bentuk modal berwirausaha atau pemberdayaan lainnya dengan orientasi sedekah jangka panjang dan sustainable. Entah itu bantuan dalam bentuk hewan ternak, usaha warung, pelatihan keterampilan seperti menjahit, dan lain-lain. Lembaga-lembaga ini tentu tersertifikasi sedemikian rupa, dan lebih jelas. Mungkin saja ini menjadi landasan beberapa kaum memilih cara sedekah lebih cerdas dan jelas. Apalagi kalau tahu pengamennya macam orang tadi, atau mengetahui ada fakta uang hasil ngamen hanya untuk judi, aduh mungkin orang-orang akan berpikir 7x untuk memberi.


Ya, kembali lagi. Cara pandang saya dan bapak pengamen tadi dalam menghadapi dunia tentu berbeda, termasuk dalam menilai penumpang berjilbab tadi. Nggak bisa dipaksakan. Dan setelah membaca postingan ini pun, lantas janganlah menerapkan teori gebyah uyah kepada semua pengamen bahwa semua pengamen bus sama seperti orang tadi. Ada pengamen yang memang terpaksa melakukan pekerjaan itu, ada yang hobi mengamen, ada yang memang mengamen hanya untuk lahan ekspresi diri.

Pemikiran seperti ini tidak hanya berlaku untuk pengamen dan penumpang saja. Banyaaakkkk hal serupa. Jangan punya mental suudzan ya, jangan jadi kaum sumbu pendek, jangan sibuk berteori gebyah uyah. Ya saya sih juga tidak bisa memaksakan cara pandang kalian dalam menghadapi dunia. Hehehe.

Lantas di ujung tulisan saya ini, saya terharu dengan pesan orang tua saya terutama mama dalam perihal pendidikan. Ingat ya, pendidikan setinggi-tingginya bukan serta merta digebyah uyah juga dengan ijazah yang setinggi-tingginya. Belajar nggak harus di dalam kelas. Ini terkait pola pikir, berpikir kritis dalam realitas sosial. Membentuk pribadi yang Tidak serta merta mengedepankan asumsi tanpa bukti. Tidak menjadi generasi pencaci tapi pemberi solusi. Sekalipun seapes-apesnya tidak memberi solusi, ya jangan nambah-nambahi caci. Alam pun bisa murka, kalau tidak bisa merawat minimal jangan merusak.

Lakukan apapun sesukamu, kecuali menjadi Tuhan.

Salam,
Mbak Kitiran Ngitir yang sedang menuju Trenggalek sendirian. Jarang nyetatus, sekali status captionnya panjang-panjang.

Instagram : zanza_bela