“Bangsa yang besar
adalah bangsa yang mencintai kebudayaannya”, bagaimanakah wujud cinta
sebenarnya terhadap kebudayaan? Bagaimana perilaku yang mencerminkan rasa cinta
sesungguhnya? Membentangkan banner besar yang bertuliskan cinta budaya? Atau marak
berkoar-koar dengan kalimat persuasif dan diplomatis mengenai cinta budaya?
Remaja, sebagai pemuda yang merupakan generasi penerus
sekaligus ahli waris budaya bangsa. Lunturnya rasa cinta dan bangga akan pesona
budaya bangsa adalah kurang tertanamnya jiwa cinta budaya dalam diri remaja.
Sebagai contoh problematika beberapa remaja terhadap warisan budaya Indonesia terhadap
wayang dan angklung.
Wayang sebagai “Karya Agung Budaya Dunia”, diakui oleh
UNESCO sejak tahun 2003. Jenisnya pun ada banyak, seperti wayang Jawa, wayang
Krucil, wayang Bali, wayang golek Sunda, dll. Umumnya, wayang yang dimainkan
berkisah tentang dewa-dewi, persilatan, percintaan dan kepahlawanan yang
pertunjukannya diiringi dengan musik gamelan dan menggunakan bahasa pengantar
bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan pun tidak seperti bahasa jawa ngoko andhap, krama inggil atau seperti bahasa jawa yang digunakan untuk
berkomunikasi sehari-hari, tetapi yang digunakan adalah bahasa Jawa Kawi atau
Jawa Kuno. Problematika remaja terhadap jenis budaya ini terlihat dari sini,
bahasa. Pantas saja kalau minat remaja terhadap salah satu warisan budaya ini
rendah, hal ini karena kurang familiarnya bahasa pengantar yang digunakan dalam
pementasan. Dalam skala regional atau nasional, pementasan wayang masih
mempertahankan cara pementasan konvensional dengan mengandalkan satu pengantar
bahasa aslinya, yaitu bahasa Jawa.
Wayang
bersifat universal dan luwes atau mengikuti perkembangan zaman. Seperti contoh dalang Ki Purbo Asmoro yang menyajikan
pementasan wayang dalam skala global dan pementasan wayang pun menyesuaikan
dengan keadaan global yang ada. Beliau dibantu Kathryn Emerson, dari Kalamazoo,
Michigan, USA, seorang
penerjemah pementasan wayang dan Yayasan
Lontar mengemas pergelaran wayang kulit dalam paket pendidikan wayang kulit
dalam tiga bahasa: Jawa, Indonesia, dan Inggris. Ki Purbo Asmoro mendalang
dengan tiga kelir atau layar. Layar utama yang terletak di bagian tengah adalah
tempat ki dalang mendalang dengan sekotak wayangnya. Dua layar di bagian kanan
dan kiri layar utama merupakan tempat teks. Di kedua layar itulah tuturan
dalang diterjemahkan dari bahasa Jawa ke bahasa Inggris. Penerjemahnya adalah
Kathryn Emerson atau Kathy. Duduk di kanan depan layar, Kathy dengan
komputernya menjadi semacam ”dalang bayangan”. Ia menerjemahkan seluruh
kejadian di jagat pewayangan yang didalangi Purbo Asmoro.
Selain problematika dalam bahasa
pementasan wayang, beralih ke jenis warisan budaya bangsa yang lain, yaitu
angklung. Alat musik yang terbuat dari bambu ini diakui UNESCO sebagai salah
satu warisan dunia sejak tahun 2010. Ciri khas alat musik ini adalah satu angklung hanya menghasilkan satu nada, sehingga dibutuhkan beberapa
set angklung dengan berbagai ukuran yang dimainkan oleh banyak orang untuk
menghasilkan sebuah harmoni atau lagu yang diinginkan, kita lebih sering
melihat pertunjukan angklung dalam bentuk orchestra. Namun, ciri khas ini
menjadi dilema bagi remaja masa kini yang menilai angklung kurang fleksibel
untuk dimainkan. Jika dinilai sebagai pertunjukan orchestra, bermain angklung
dengan kuantitas alat atau massa tidaklah repot. Namun, jika dimainkan untuk
skala personal, angklung dinilai kurang praktis sehingga menyebabkan para ahli
waris budaya enggan dan memiliki minat yang rendah terhadap angklung. Selain
itu, majunya teknologi sudah menyediakan alat-alat musik modern yang lebih
praktis untuk digunakan. Seperti piano, gitar, bass, atau organ yang bisa diset atau diberi efek suara yang bisa
menirukan suara angklung.
Beberapa problematika di atas muncul di kalangan remaja,
karena mereka masih berpikiran awan dan kurangnya jiwa cinta budaya dalam diri
mereka. Cinta tidak sekedar diungkapkan dengan kata-kata, tetapi cinta adalah
rasa memiliki, ikut berperan aktif melestarikan dan andil dalam mendaya
gunakan.
Wayang memang sejatinya
dipentaskan dengan bahasa asalnya yaitu bahasa Jawa, namun untuk
mengatasi masalah tingkat apresiasi dari masyarakat khususnya remaja yang
ditimbulkan oleh faktor bahasa, solusi persoalan dapat melalui proses
pementasan dengan menggunakan bahasa pengantar yang tidak hanya bahasa Jawa,
bisa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing lainnya (dengan tidak menghilangkan keaslian bahasa pengantarnya). Sedangkan
angklung, dilema yang dirasakan bagi para remaja sebagai ahli waris warisan
budaya bangsa karna kurang pahamnya filosofi dibalik alat musik bambu tersebut
bahwa satu alat musik angklung hanya menghasilkan
satu nada, tidak mungkin bermain sendiri untuk membentuk harmoni. Memang hidup
selalu memerlukan orang lain, dan angklung membawa pesan kemanusiaan bahwa
sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup tanpa manusia yang lainnya.
0 comments:
Post a Comment