7/1/21

Esai : Pendidikan Membangun Desa

Halo teman-teman. Lama nggak nulis esai nih. Iseng-iseng ikut simposium ISS atau Indonesia SDG's Summit 1.0 yang akan diselenggarakan 3-4 Juli 2021. Untuk yang penasaran tentang programnya, bisa langsung kunjungi websitenya di sdgsummit.id. Baca juga pengalamanku waktu mengikuti ISS ya di tulisan Menjelang ISS dan Pengalaman ISS.

Edisi pertama kali ini mengusung tema Strengthening Youth’s Action for 2030 Agenda on Sustainable Development Goals yang fokus terhadap beberapa sesi simposium yang berbeda. Simposium ini akan terbagi menjadi 4 yaitu (3)Kehidupan Sehat dan Sejahtera, (4) Pendidikan Berkualitas, (5)Kesetaraan Gender, dan (8)Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi. Karena selama ini concern di bidang pendidikan non formal, jadi setelah menimbang-nimbang akhirnya aku pun mengambil tema Pendidikan Berkualitas. Jika ada masukan untuk tulisanku ini, jangan sungkan untuk tulis di kolom komentar atau kirim ke email zanzabela@yahoo.com ya. Oiya, boleh juga follow IGku @zanza_bela.

*****

PENDIDIKAN MEMBANGUN DESA
Oleh: Berdit Zanzabela

 

Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) desa unggul dan memiliki daya saing berakar dari pendidikan yang berkualitas. SDM berkualitas akan melahirkan manusia-manusia yang mampu berperan aktif mewujudkan kesejahteraan masyarakat, kemandirian bangsa dan mendukung pembangunan nasional. Namun apakah pendidikan berkualitas sudah benar-benar merata dari kota hingga ke desa?

Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki komitmen untuk turut andil dalam SDG’s (Sustainable Development Goals) yang juga merupakan agenda visi pembangunan jangka panjang. Komitmen tersebut diharapkan tidak hanya memenuhi kesepakatan global tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah pinggiran yang menjadi tindak upaya pemerintah melakukan pemerataan pembangunan.

Dilansir melalui Kompas, menurut Abdul Halim Iskandar, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), mengatakan bahwa akselerasi pengembangan dapat dicapai dengan menjadikan desa sebagai pusat pembangunan Indonesia. Hal tersebut didukung dengan adanya aspek kewilayahan. Setidaknya sekitar 91% kawasan Indonesia merupakan wilayah pedesaan. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Mendes PDTT pada tahun 2020, mayoritas wilayah pembangunan berada di pedesaan dengan rincian dari 514 kabupaten/kota, terdiri atas 74.953 desa dan 8.430 kelurahan. Dari data tersebut, berkisar 12,06% wilayah kabupaten masih tergolong daerah tertinggal. Mengingat prinsip No One Left Behind, dimana SDG’s memang dirancang untuk tidak meninggalkan satu orang pun termasuk yang ada di desa. Oleh karena itu, komitmen pembangunan Indonesia dari desa juga dituangkan dalam pelokalan SDG’s menjadi SDG’s desa. Hal inilah yang menjadi acuan dan upaya terpadu untuk pembangunan berkelanjutan desa di Indonesia. Jika secara global kita mengetahui salah satu tujuan dalam SDG’s adalah pendidikan berkualitas, maka lebih spesifik, SDG’s Desa bertujuan untuk mewujudkan pendidikan desa berkualitas.

Guna mewujudkan komitmen tersebut, SDM berkualitas yang diperoleh melalui pendidikan berkualitas menjadi pilar penting. Jalur pendidikan yang dikenal di Indonesia dibedakan menjadi jalur pendidikan formal dan non formal. Perbedaan mencolok diantara keduanya yaitu pada penyusunan kurikulum. Pendidikan formal disusun secara terpusat., sedangkan pendidikan non formal lebih bersifat tertentu. Muatan kurikulum pendidikan non formal difungsikan sebagai pelengkap, penambah hingga pengembang potensi melalui pelatihan kerja, kursus, dan lain-lain. Minimnya pendidikan di desa tidak hanya dipengaruhi oleh kurang meratanya penyedia sarana dan prasarana pendidikan, tetapi juga faktor lain yaitu faktor ekonomi seperti yang dirasakan oleh masyarakat suku Akit di Desa Sokop, Riau. Keadaan berdampak  pada banyaknya anak putus sekolah dan tidak bisa melanjutkan pendidikan formal (Husnul Khotimah et al, 2017). Selain itu, kurangnya motivasi belajar akibat persepsi masyarakat terhadap pendidikan juga menjadi salah satu faktor penyebab lainnya. Seperti yang terjadi di desa Pogungrejo Bayan, Purworejo, Jawa Tengah yang menurut keluarga petani di sana pendidikan formal masih dilihat sebagai mesin pencetak diploma untuk kelayakan mencari pekerjaan sehingga cenderung statis untuk kesadaran mengenyam pendidikan tinggi (Syaefudin, 2018). Hal itu pun serupa dengan yang terjadi di beberapa desa yang ada di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Ditambah lagi trend di kalangan pemuda dan usia produktif yang lebih memilih merantau karena minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan.

Tidak jarang fenomena tersebut membuat beberapa desa menjadi kekurangan SDM potensial untuk membantu mengembangkan desanya. Olah karena itu, perlu adanya gerakan belajar melalui pendidikan non-formal bagi warga setempat agar bisa turut serta membangun desanya. Sasarannya tidak hanya kalangan muda saja, tetapi juga kalangan pekerja dewasa. Adapun jenis materi keterampilan yang akan diberikan, menyesuaikan dengan kebutuhan warga setempat. Pemberian stimulus guna meningkatkan motivasi belajar, diberikan dengan cara memasukkan unsur muatan lokal seperti menggali potensi-potensi menarik yang ada di desa tempat mereka tinggal. Karena tidak jarang warga setempat melihat sesuatu yang sebenarnya menarik dan potensial sebagai hal yang biasa saja.


Gambar 1.1 Belajar Bersama Pemandu Kapal Wisata di Kec. Watulimo, Trenggalek

Salah satu contohnya adalah daerah yang berada di Kecamatan Watulimo, Trenggalek. Daerah tersebut terkenal sebagai daerah wisata seperti Pantai Prigi, Karanggongso, pantai Mutiara, dan lain-alin. Memang mayoritas warga di sana berprofesi sebagai nelayan. Tetapi saat tidak melaut, mereka mengalihfunsgikan kapalnya sebagai media wisata bagi para wisatawan dengan cara menyewakannya. Tidak jarang para nelayan tersebut menjadi pemandu kapal wisata, dengan hanya mengandalkan 'naluri bertahan hidup' tanpa mengetahui ilmu dan keterampilan penunjang yang semestinya harus dipelajari. Dalam hal ini dapat kita ketahui bahwa jalur pendidikan non formal dapat hadir sebagai solusi guna memberikan pelatihan agar dapat mengembangkan keterampilan dan mencetak pramuwisata kompeten untuk memandu wisatawan.

Melalui kegiatan pelatihan tersebut, kami juga menemukan beberapa kendala yang dirasakan oleh pemandu kapal wisata disana yang tertulis pada Tabel 1.1 berikut :

 

No.

Kendala

Hasil Diskusi dan Evaluasi

1.

Terdapat laporan dari wisatawan tentang pemandu kapal wisata yang kurang ramah

Pramuwisata diajarkan 3S (Senyum, Salam, Sapa) dan materi tentang hospitality untuk menunjang profesi mereka.

2.

Wisatawan kurang bisa mengenali identitas pemandu kapal wisata

Mereka diajarkan dari sisi grooming, agar menyadari pentingnya kostum ikonik untuk memudahkan wisatawan mengenali mereka

3.

Wisatawan menawar harga terlalu murah

Pramuwisata merasa binung dan kesulitan untuk mempertahankan harga, sehingga aspek public speaking juga dikenalkan kepada mereka.

4.

Pemandu kapal wisata hanya fokus mencari wisatawan dan operator kapal. Kurang cakap dalam menceritakan filosofi objek wisata

Pramuwisata juga diajak untuk semakin mengenal daerahnya sendiri sehingga ada aspek filosofi yang juga diceritakan kepada wisatawan yang naik kapal wisata mereka. Dan ditunjang dengan public speaking skills.

5.

Pemandu kapal wisata belum mengenali karakter wisatawan millennial (missal: yang suka berfoto)

Pramuwisata dikenalkan tipe-tipe perilaku wisatawan millennial. Contoh: suka berfoto. Sehingga mengingatkan pramuwisata untuk memberi kesempatan wisatawan berfoto sejenak saat menjelajah lautan.

 

Kegiatan pelatihan untuk mengasah soft skill dalam bidang pramuwisata di atas dapat meningkatkan kualitas SDM dalam menjalankan profesinya. Tidak hanya menyerap materi tetapi juga saling berdiskusi untuk inovasi-inovasi lainnya guna menunjang profesi di bidang ke pariwisataan. Tak hanya itu, upaya ini juga dapat menjadi bagian partisipasi warga setempat untuk turut serta membangun desanya melalui potensi pariwisata.

Mengutip pernyataan Bung Hatta, “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tetapi Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa menyala”. Dengan turut serta membantu pendidikan warga desa, meskipun dalam terlihat skala kecil namun ketika serentak dilakukan di desa-desa lain maka dampaknya bisa menjangkau lebih luas bahkan merata di seluruh Indonesia.


 

Referensi :

Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM), https://www.its.ac.id/drpm/beranda/pusat/pusat-kajian/sdgs/tentang-kami/, diakses 30 Juni 2021

Kurniawan, Alek. 2020. “Mendes PDTT: Desa Jadi Penentu Kemajuan Bangsa Indonesia”, https://nasional.kompas.com/read/2020/11/21/19445111/mendes-pdtt-desa-jadi-penentu-kemajuan-bangsa-indonesia?page=all, diakses pada 30 Juni 2021

Khotimah, Husnul; Hambali; Supentri. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Suku Akit Tidak Melanjutkan Pendidikan Formal Di Desa Sokop Kecamatan Rangsang Pesisir Kabupaten Kepulauan Meranti. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, vol. 4, no. 2, Oktober 2017, pp. 1-15.

Syaefudin. 2018. Kesadaran Keluarga Petani Terhadap Pentingnya Pendidikan Formal (Studi Kasus di Desa Pogungrejo Bayan Purworejo Jawa Tengah). Volume 6, Nomor 1: 62-80.  Jurnal Psikologi Integratif


Terima kasih sudah berkunjung.
(Admin/Zan)

0 comments:

Post a Comment