Halo teman-teman. Lama nggak nulis esai nih. Iseng-iseng ikut simposium ISS atau Indonesia SDG's Summit 1.0 yang akan diselenggarakan 3-4 Juli 2021. Untuk yang penasaran tentang programnya, bisa langsung kunjungi websitenya di sdgsummit.id. Baca juga pengalamanku waktu mengikuti ISS ya di tulisan Menjelang ISS dan Pengalaman ISS.
Edisi pertama kali ini mengusung tema Strengthening Youth’s Action for 2030 Agenda on Sustainable Development Goals yang fokus terhadap beberapa sesi simposium yang berbeda. Simposium ini akan terbagi menjadi 4 yaitu (3)Kehidupan Sehat dan Sejahtera, (4) Pendidikan Berkualitas, (5)Kesetaraan Gender, dan (8)Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi. Karena selama ini concern di bidang pendidikan non formal, jadi setelah menimbang-nimbang akhirnya aku pun mengambil tema Pendidikan Berkualitas. Jika ada masukan untuk tulisanku ini, jangan sungkan untuk tulis di kolom komentar atau kirim ke email zanzabela@yahoo.com ya. Oiya, boleh juga follow IGku @zanza_bela.
*****
PENDIDIKAN MEMBANGUN DESA
Oleh: Berdit Zanzabela
Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) desa
unggul dan memiliki daya saing berakar dari pendidikan yang berkualitas. SDM
berkualitas akan melahirkan manusia-manusia yang mampu berperan aktif
mewujudkan kesejahteraan masyarakat, kemandirian bangsa dan mendukung
pembangunan nasional. Namun apakah pendidikan berkualitas sudah benar-benar
merata dari kota hingga ke desa?
Indonesia menjadi salah satu negara yang
memiliki komitmen untuk turut andil dalam SDG’s (Sustainable Development
Goals) yang juga merupakan agenda visi pembangunan jangka panjang. Komitmen
tersebut diharapkan tidak hanya memenuhi kesepakatan global tetapi juga
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, termasuk
daerah pinggiran yang menjadi tindak upaya pemerintah melakukan pemerataan
pembangunan.
Dilansir melalui Kompas, menurut Abdul
Halim Iskandar, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes
PDTT), mengatakan bahwa akselerasi pengembangan dapat dicapai dengan menjadikan
desa sebagai pusat pembangunan Indonesia. Hal tersebut didukung dengan adanya aspek
kewilayahan. Setidaknya sekitar 91% kawasan Indonesia merupakan wilayah
pedesaan. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Mendes PDTT pada tahun 2020, mayoritas
wilayah pembangunan berada di pedesaan dengan rincian dari 514 kabupaten/kota,
terdiri atas 74.953 desa dan 8.430 kelurahan. Dari data tersebut, berkisar
12,06% wilayah kabupaten masih tergolong daerah tertinggal. Mengingat prinsip No One Left Behind, dimana SDG’s memang
dirancang untuk tidak meninggalkan satu orang pun termasuk yang ada di desa. Oleh karena itu,
komitmen pembangunan Indonesia dari desa juga dituangkan dalam pelokalan SDG’s
menjadi SDG’s desa. Hal inilah yang menjadi acuan dan upaya terpadu untuk
pembangunan berkelanjutan desa di Indonesia. Jika secara global kita mengetahui salah satu tujuan dalam SDG’s adalah
pendidikan berkualitas, maka lebih spesifik, SDG’s Desa
bertujuan untuk mewujudkan pendidikan desa berkualitas.
Guna mewujudkan komitmen tersebut, SDM
berkualitas yang diperoleh melalui pendidikan berkualitas menjadi pilar penting.
Jalur pendidikan yang dikenal di Indonesia dibedakan menjadi jalur pendidikan formal
dan non formal. Perbedaan mencolok diantara keduanya yaitu pada penyusunan
kurikulum. Pendidikan formal disusun secara terpusat., sedangkan pendidikan
non formal lebih bersifat tertentu. Muatan kurikulum pendidikan non formal
difungsikan sebagai pelengkap, penambah hingga pengembang potensi melalui
pelatihan kerja, kursus, dan lain-lain. Minimnya pendidikan di desa tidak hanya
dipengaruhi oleh kurang meratanya penyedia sarana dan prasarana pendidikan, tetapi
juga faktor lain yaitu faktor ekonomi seperti yang dirasakan oleh masyarakat
suku Akit di Desa Sokop, Riau. Keadaan berdampak pada banyaknya anak putus sekolah dan tidak
bisa melanjutkan pendidikan formal (Husnul Khotimah et al, 2017). Selain itu, kurangnya
motivasi belajar akibat persepsi masyarakat terhadap pendidikan juga menjadi
salah satu faktor penyebab lainnya. Seperti yang terjadi di desa Pogungrejo
Bayan, Purworejo, Jawa Tengah yang menurut keluarga petani di sana pendidikan
formal masih dilihat sebagai mesin pencetak diploma untuk kelayakan mencari
pekerjaan sehingga cenderung statis untuk kesadaran mengenyam pendidikan tinggi
(Syaefudin, 2018). Hal itu pun serupa dengan yang terjadi di beberapa desa yang
ada di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Ditambah lagi trend di kalangan
pemuda dan usia produktif yang lebih memilih merantau karena minimnya
ketersediaan lapangan pekerjaan.
Tidak jarang fenomena tersebut membuat
beberapa desa menjadi kekurangan SDM potensial untuk membantu mengembangkan
desanya. Olah karena itu, perlu adanya gerakan belajar melalui pendidikan
non-formal bagi warga setempat agar bisa turut serta membangun desanya. Sasarannya
tidak hanya kalangan muda saja, tetapi juga kalangan pekerja dewasa. Adapun jenis
materi keterampilan yang akan diberikan, menyesuaikan dengan kebutuhan warga
setempat. Pemberian stimulus guna meningkatkan motivasi belajar, diberikan
dengan cara memasukkan unsur muatan
lokal seperti menggali potensi-potensi menarik yang ada di desa tempat mereka
tinggal. Karena tidak jarang warga setempat melihat sesuatu yang sebenarnya
menarik dan potensial sebagai hal yang biasa saja.
Gambar 1.1 Belajar Bersama Pemandu Kapal Wisata di
Kec. Watulimo, Trenggalek
Salah satu contohnya adalah daerah yang
berada di Kecamatan Watulimo, Trenggalek. Daerah tersebut terkenal sebagai daerah wisata seperti Pantai Prigi, Karanggongso, pantai Mutiara, dan lain-alin. Memang mayoritas warga di sana
berprofesi sebagai nelayan. Tetapi saat tidak melaut, mereka mengalihfunsgikan
kapalnya sebagai media wisata bagi para wisatawan dengan cara menyewakannya. Tidak
jarang para nelayan tersebut menjadi pemandu kapal wisata, dengan hanya
mengandalkan 'naluri bertahan hidup' tanpa mengetahui ilmu dan keterampilan
penunjang yang semestinya harus dipelajari. Dalam hal ini dapat kita ketahui
bahwa jalur pendidikan non formal dapat hadir sebagai solusi guna memberikan
pelatihan agar dapat mengembangkan keterampilan dan mencetak pramuwisata
kompeten untuk memandu wisatawan.
Melalui kegiatan pelatihan tersebut, kami
juga menemukan beberapa kendala yang dirasakan oleh pemandu kapal wisata disana
yang tertulis pada Tabel 1.1 berikut :
No.
|
Kendala
|
Hasil
Diskusi dan Evaluasi
|
1.
|
Terdapat
laporan dari wisatawan tentang pemandu kapal wisata yang kurang ramah
|
Pramuwisata
diajarkan 3S (Senyum, Salam, Sapa) dan materi tentang hospitality untuk
menunjang profesi mereka.
|
2.
|
Wisatawan
kurang bisa mengenali identitas pemandu kapal wisata
|
Mereka
diajarkan dari sisi grooming, agar menyadari pentingnya kostum ikonik
untuk memudahkan wisatawan mengenali mereka
|
3.
|
Wisatawan
menawar harga terlalu murah
|
Pramuwisata
merasa binung dan kesulitan untuk mempertahankan harga, sehingga aspek public
speaking juga dikenalkan kepada mereka.
|
4.
|
Pemandu
kapal wisata hanya fokus mencari wisatawan dan operator kapal. Kurang cakap
dalam menceritakan filosofi objek wisata
|
Pramuwisata
juga diajak untuk semakin mengenal daerahnya sendiri sehingga ada aspek
filosofi yang juga diceritakan kepada wisatawan yang naik kapal wisata
mereka. Dan ditunjang dengan public speaking skills.
|
5.
|
Pemandu
kapal wisata belum mengenali karakter wisatawan millennial (missal: yang suka
berfoto)
|
Pramuwisata
dikenalkan tipe-tipe perilaku wisatawan millennial. Contoh: suka berfoto.
Sehingga mengingatkan pramuwisata untuk memberi kesempatan wisatawan berfoto
sejenak saat menjelajah lautan.
|
Kegiatan pelatihan untuk mengasah soft
skill dalam bidang pramuwisata di atas dapat meningkatkan kualitas SDM dalam
menjalankan profesinya. Tidak hanya menyerap materi tetapi juga saling
berdiskusi untuk inovasi-inovasi lainnya guna menunjang profesi di bidang ke
pariwisataan. Tak hanya itu, upaya ini juga dapat menjadi bagian partisipasi
warga setempat untuk turut serta membangun desanya melalui potensi pariwisata.
Mengutip pernyataan Bung Hatta, “Indonesia
tidak akan besar karena obor di Jakarta, tetapi Indonesia akan bercahaya karena
lilin-lilin di desa menyala”. Dengan turut serta membantu pendidikan warga desa,
meskipun dalam terlihat skala kecil namun ketika serentak dilakukan di
desa-desa lain maka dampaknya bisa menjangkau lebih luas bahkan merata di
seluruh Indonesia.
Referensi
:
Direktorat
Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM), https://www.its.ac.id/drpm/beranda/pusat/pusat-kajian/sdgs/tentang-kami/,
diakses 30 Juni 2021
Kurniawan,
Alek. 2020. “Mendes PDTT: Desa Jadi Penentu Kemajuan Bangsa Indonesia”, https://nasional.kompas.com/read/2020/11/21/19445111/mendes-pdtt-desa-jadi-penentu-kemajuan-bangsa-indonesia?page=all,
diakses pada 30 Juni 2021
Khotimah,
Husnul; Hambali; Supentri. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Masyarakat Suku Akit Tidak Melanjutkan Pendidikan Formal Di Desa Sokop
Kecamatan Rangsang Pesisir Kabupaten Kepulauan Meranti. Jurnal Online
Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, vol. 4, no.
2, Oktober 2017, pp. 1-15.
Syaefudin.
2018. Kesadaran Keluarga Petani Terhadap Pentingnya Pendidikan Formal (Studi
Kasus di Desa Pogungrejo Bayan Purworejo Jawa Tengah). Volume 6, Nomor 1:
62-80. Jurnal Psikologi Integratif
Terima kasih sudah berkunjung.
(Admin/Zan)