9/7/13

Kuliah, K U L I A H untuk apa?

Kalau saya browsing di Google terkait topik di atas, udah seabrek artikel yang mengulas tuntas. Gara - gara kelamaan nongkrong di warung, kuping saya panas. Lebih suka ngomel - ngomel di lapak tulis ini daripada harus ngomel pakek nyolot di depan orang. Hehehee....

"Halah, apa gunanya kuliah tinggi - tinggi! Buat nyari duit? Yang cuma lulusan SD saja bisa hidup berkecukupan, bahkan lebih dari cukup kok" ucap lantang si bapak sambil menyembur asap rokoknya.

Saya pinjam kata - katanya *Tere Lije yang ditulis di akun facebooknya untuk menanggapi pernyataan di atas :
"Jangan menghabiskan waktu menjelaskan ke orang2 yang tidak butuh penjelasan. Karena itu sama seperti kalian hendak menuangkan segelas madu manis nan lezat ke dalam sebuah teko, tapi orang lain sudah menutup tekonya. Hanya akan tumpah, sia-sia terbuang."

Sabar...sabar... lanjut nulis....

Lalu, kuliah itu untuk apa? Kalau ada beberapa orang yang sudah cukup dengan tanpa kuliah? Berikut ini ulasan yang sangat menarik dari catatan Dahlan Iskan yang saya ambil dari sini.

Saya tahu dan menjalani, mengapa dunia usaha memerlukan seorang lulusan S-1 dan tidak cukup kalau hanya SMA. Seorang lulusan S-1 diasumsikan bahwa dia sudah memperoleh pendidikan bagaimana berpikir logis, analitis dan sistematis. Maka yang kita perlukan paling pokok dari seorang lulusan S-1 adalah tiga hal itu. Bahkan dia pintar dalam disiplin ilmu tertentu adalah juga penting, tapi belum yang terutama. Sebab untuk penguasaan materi bidang tertentu, seorang bisnisman akan lebih mengandalkan dari praktik yang dia lakukan ketika mulai masuk bekerja.
Kalau seorang lulusan S-1 berpikirnya sangat logis, analitis dan sistematis, maka dia akan dengan sangat cepat menguasai materi-materi baru yang ada di perusahaan dengan amat cepat dan baik. Bahwa dia memiliki penguasaan materi di bidang itu, memang bisa menambah kecepatan tersebut.
Tapi mengapa perusahaan juga memerlukan lulusan S-1 dengan IP yang tinggi? Saya kemukakan, bahwa IP tinggi diperlukan sebagai penetapan asumsi bahwa lulusan tersebut punya otak yang kapasitasnya cukup besar. Gunanya, untuk menyerap hal-hal baru yang dia temukan ketika mulai bekerja dengan daya serap yang besar. Kalau IP-nya tinggi, kita bisa mengasumsikan bahwa otaknya cukup besar. Buktinya mampu menyerap pelajaran dengan sangat baik. Berarti dia juga akan mampu menyerap hal-hal baru yang dia temukan saat bekerja secara baik pula.
Dari seorang lulusan S-1 kita masih bisa mengandalkan satu hal lagi: umurnya yang masih muda. Katakanlah umurnya baru 23 tahun. Dengan umur segitu dan dengan kapasitas berpikir yang besar, logis dan analitis maka dalam 3 atau 4 tahun si lulusan S-1 tadi sudah akan sangat menguasai pekerjaan dengan segala persoalannya. Kalau belum juga berarti ada tiga kemungkinan: kapasitas berpikirnya ternyata tidak sebesar yang digambarkan oleh IP-nya, atau dia seorang pemalas, atau lingkungan tempatnya bekerja tidak memiliki sistem dan praktik manajemen yang memadai. Tapi kalau tiga-tiganya ada dan lulusan S-1 yang sudah berpengalaman 4 tahun tadi karirnya belum baik juga, barangkali persoalannya tinggal satu: karakternya kurang baik. Bisa jadi dia seorang yang potensial konflik, bisa jadi seorang yang tidak bisa bekerja dalam tim dan barangkali seorang yang tidak jujur.
Itu adalah ulasan yang saya ambil dari catatan Dahlan Iskan. Memang ada banyak jalan untuk belajar dan sukses, tapi jika Anda memiliki kesempatan untuk menikmati pendidikan di bangku kuliah, nikmatilah.
"Orang yang tidak kuliah saja bisa sukses", itu sama saja dengan "orang yang membunuh 100 orang bisa masuk surga". Jangan membandingkan hal yang di luar kuasamu! #Lassvera (zan)



0 comments:

Post a Comment