Gambar 1.1 Turangga Yaksa khas Trenggalek (Dok. Smaneska Trenggalek) |
Trenggalek adalah daerah yang terkenal dengan seni
budayanya, khususnya tari. Turangga Yaksa (baca: Turonggo Yakso) atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Jaranan Turangga Yaksa adalah kesenian yang pada
awalnya bukan suatu kesenian yang berdiri sendiri, namun merupakan bagian dari
ritual atau upacara adat sebuah desa di Trenggalek yang bernama desa Dongko.
Kesenian Turangga Yaksa murni
berasal dari Kabupaten Trenggalek, tepatnya dari dusun Blimbing, desa Dongko,
Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek. Tarian ini adalah bagian dari
pelaksanaan upacara adat Baritan yang diselenggarakan setiap bulan Syura
(Muharram) dengan hari dan tanggal yang ditentukan oleh sesepuh (pawang), yang
dianggap menguasai tentang ihwal pelaksanaannya. Upacara adat Baritan
dilaksanakan dengan tujuan untuk memohon kepada Hyang Widi (Tuhan penguasa
alam) agar hewan peliharaan berupa sapi, kerbau dan hewan ternak lain serta
sawah ladang mereka dapat terhindar dari pagebluk (mala petaka).
Menurut
Mujiman yang kini menjabat sebagai pemilik TK/SD Kec. Dongko yang sekaligus
sebagai salah satu dari sesepuh desa itu, Baritan merupakan kepanjangan dari Bubar ngarit tanduran
atau dalam bahasa Indonesia artinya adalah selesai panen. Historinya, Baritan
merupakan upacara adat sebagai ucapan terima kasih atau rasa syukur kepada Yang
Maha Kuasa dari para petani yang telah berhasil memanen hasil sawah dan
ladangnya. Upacara itu dilaksanakan di sawah usai panen. Baritan telah
dilaksanakan turun temurun sejak jaman dahulu.
Ketika tahun 1965, karena situasi politik yang tidak
menentu saat itu, Baritan tidak diselenggarakan. Namun, apa yang terjadi?
Pageblukpun ternyata menghampiri desa itu. Penduduk dicekam rasa takut, hingga
membuat resah seluruh warga desa yang
melebihi resahnya menghadapi situasi politik saat itu. Kemarau berlangsung
berkepanjangan, banyak hewan ternak yang mati diserang penyakit atau mati
kelaparan karena tidak ada rumput. Sawah dan ladang menjadi kering kerontang
tak menghasilkan panen. Akhirnya seluruh warga kampung banyak yang kelaparan.
Dalam keadaan seperti itu, akhirnya para sesepuh mengambil inisiatif. Ada yang
melakukan tapa brata. Ada yang berdo’a yang semua intinya meminta kepada Yang
Maha Kuasa agar diberi petunjuk bagaimana mengatasi pagebluk yang berlangsung
panjang. Anehnya, hampir semua sesepuh kampung yang sedang melakukan tapa brata
mendapatkan wisik yang sama, yaitu upacara Baritan harus kembali dilaksanakan.
Namun baritan kali ini, harus diadakan di sawah atau ladang yang selesai
dipanen. Diatas sawah ladang tersebut didirikan terob dengan ditandai janur
melengkung seperti layaknya orang mempunyai hajat mantu. Kemudian mengumpulkan seluruh petani didesa itu dengan membawa dadung/tali
pengikat rajakaya, Lengkong (anyaman bambu berisi buceng), Gedang setangkep
serta pulo Gimbal dan Pulo Gising. Setelah semuanya berkumpul, salah satu
sesepuh menyampaikan maksud dan tujuannya mereka berkumpul disitu. Kemudian
sesepuh yang lain memimpin do’a bersama yang isinya ucapan terima kasih karena
sawah ladang mereka bisa panen, serta hewan ternak mereka kalis dari sambekala.
Kemudian sesepuh yang dianggap paling mumpuni menghampiri dadung / tali
pengikat rajakaya untuk diberi japa mantra sebelum dibawa pulang kembali oleh
para petani. Setelah selesai, sesepuh tersebut berpesan kepada para petani,
bahwa tali pengikat rajakaya yang telah diberi jampi-jampi tersebut harus disimpan
diatas paga atau sebuah keranjang yang letaknya diatas tungku perapian. Jika
rajakaya mereka sakit, tali yang disimpan diatas paga tadi boleh diambil lalu
dibecem/dicelupkan diair beberapa saat dan airnya supaya diminumkan kepada
hewan ternak mereka yang sakit. Insyaallah, hewan tersebut bisa sembuh seperti
sedia kala. Kemudian setelah selesai prosesi upacara. Diadakan kembul bojana
andrawina (pesta pora) dengan menanggap tayub. Ide gagasan tercetusnya Turangga Yaksa menurut cerita Mujiman berasal
dari Sutiyono. Ketika itu tahun 1972, Sutiyono ingin melestarikan prosesi
ritual baritan yang begitu sakral dalam wujud sebuah kesenian tradisi yang
akrab dihati masyarakat. Namun melambangkan maksud dan tujuan dari prosesi
baritan itu sendiri. Belum lagi gagasan itu terwujud secara sempurna mendadak
Sutiono meninggal. Kemudian gagasannya dilajutkan oleh Puguh. Akhirnya
tercetuslah sebuah kesenian tradisional berupa tarian sejenis jaranan berkepala
raksasa yang disebut turangga yaksa. Sebagai koreografernya penata gerak
tariannya waktu itu adalah sdr. Pamrih. Sedangkan penata gendingnya diserahkan
kepada sdr. Muan. Sementara itu Puguh sendiri menyusun jalan ceritanya. Bertiga
mereka berjuang keras untuk membuat sebuah karya seni yang mempunyai tata gerak
yang amat enerjik. Ternyata kerja keras mereka membuahkan hasil yang kala itu
menurut sdr. Pamrih tahun 1982 Turangga Yaksa digelar dalam sebuah pergelaran
ala kampung untuk melengkapi ritual baritan yang pertama kali. Walaupun dalam gerak estetiknya masih diilhami dari
kesenian tradisional jaranan, namun turangga Yaksa mempunyai tata gerak yang
lain dibandingkan dengan jaranan sentherewe maupun jaranan Breng.
Gambar 1.2 Festival
Turangga Yaksa 2013
(Dok. Smaneska Trenggalek)
|
Dalam perjalanan sejarahnya, sekarang jaranan Turangga
Yaksa telah menjadi kesenian tradisional khas Trenggalek yang patut dibanggakan,
hal itu dibuktikan dengan dipatenkannya Tari Turangga Yaksa sebagai tari
asli dari Kabupaten Trenggalek sejak tanggal 23 September 2012 di anjungan Jawa
Timur, Taman Mini Indonesia Indah. Perkembangan selanjutnya, tari Turangga
Yaksa tidak sekedar sebagai bagian upacara adat, namun pemerintah Trenggalek
juga turut melakukan pelestarian budaya asli daerah dengan menyelenggarakan
Festival Turangga Yaksa yang juga untuk memperingati Hari Jadi Trenggalek.
Melalui website
resmi Humas Kabupaten Trenggalek, Sekretaris Daerah setempat mengatakan bahwa
upaya pelestarian dan pengembangan terus dilakukan, salah satu diantaranya
dengan diadakannya lomba atau Festival Turangga Yaksa. Harapannya. Festival ini
tidak hanya bergaung di tingkat lokal, tetapi mampu menjangkau tingkat Jawa
Timur. Pembangunan di bidang seni budaya, dari tahun ke tahun telah diupayakan
untuk peningkatan baik dari sisi materi seni budayanya, seniman maupun sarana
penunjangnya, yang pada gilirannya mampu diangkat nilai lokal ini menjadi
global, bukan sebaliknya. Jika demikian yang terjadi, maka peran seni budaya
dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Trenggalek baik dengan menjual
hasil karya ekonomi kreatif berbasis seni budaya atau mengintregasi dengan hasil produk bidang lain dapat
diwujudkan.
Bagi masyarakat
yang belum menyaksikan langsung pertunjukan Turangga Yaksa, tentu penasaran
mengenai alur pertunjukan jaranan Turangga Yaksa. Berdasarkan sejarah Turangga
Yaksa di atas, seni tari asli Trenggalek ini tidak sekedar pertunjukan atau
bagian upacara adat. Skenario seni tari ini seperti drama kolosal, tidak
terpisah-pisah.
Gambar 1.3 Drama dalam tari Turangga Yaksa
(Dok. Smaneska Trenggalek) |
Dalam drama tari
di Trenggalek tersebut, terdapat beberapa penari yang mengayun-ayunkan cemeti
ke tanah. Sesaat debu mengepul ke udara, seiring semangat gerakan sang penari
yang mengapit kuda berkepala raksasa, itulah Turangga Yaksa. Gerakan mereka
meliuk-liuk, menunduk dan kemudian bersujud seakan-akan menghormati pada sang
penguasa. Dalam diam bersujud, tiba-tiba muncul tokoh penari, memakai baju
hitam dan mengapit celeng dan sesosok lagi muncul penari tinggi, besar dan
menakutkan. Tokoh-tokoh tersebut adalah tokoh jahat yang mengganggu kedamaian
umat manusia dan digambarkan dengan celeng (babi hutan) dan caplok’an (serupa barong). Akhirnya
mereka bertarung di medan pertempuran. Para penari Turangga Yaksa menjadi
ksatria yang ikut menumpas tokoh kejahatan tersebut. Pertempuran berlangsung
sengit, gemercik tetabuhan mengiringi pertempuran para ksatria kerajaan.
Para tokoh
kejahatan kalah, terkapar di medan perang. Pertempuran pun usai. Para ksatria
bersuka ria. Mereka menari berputar-putar sambil terus menghentakkan kaki ke
bumi. Seolah mengatakan, kebenaran di muka bumi menang dan telah mengalahkan
kejahatan.
Begitulah singkat
cerita dari pertunjukan tari jaranan Turangga Yaksa. Urutan penampilan di atas
adalah versi konvensi yaitu para ksatria Turangga Yaksa muncul pertama, baru
selanjutnya tokoh jahat yaitu barong dan celeng muncul dalam pertunjukan.
Perkembangan selanjutnya, dalam pementasan terdapat kreativitas-kreativitas
baru dalam pementasan jaranan Turangga Yaksa masa kini, variasi pertunjukan
tidak selalu menampilkan Turangga Yaksa terlebih dahulu, namun menunjukkan
rampak barong atau rampak celeng terlebih dahulu baru ksatria Turangga Yaksa.
Meskipun terdapat beberapa variasi dari kreativitas seniman, cerita dalam pementasan
drama kolosal tersebut tidak berubah.
Ciri dari tari Turangga Yaksa ini adalah gerak tari dan
musik pengiringnya yang energik dan dinamis. Properti Tari Jaranan Turangga Yaksa juga memiliki ciri
khas tersendiri yaitu, perpaduan antara kepala raksasa dengan badan kuda yang
terbuat dari kulit kerbau, sehingga dijadikan salah satu identitas lokal
Kabupaten Trenggalek, nilai ilmu pengetahuan yang terkandung dalam Tari Jaranan
Turangga Yaksa yaitu filosofi dari Tari Jaranan Turangga Yaksa. Nilai
ketrampilan yang terkandung dalam Tari Jaranan Turangga Yaksa yaitu, pada saat
bermain peran. Nilai estetika/keindahan, terdapat pada perpaduan antara tata
rias dan busana yang dikenakan, ragam gerak, serta musik yang mengiringi,
sehingga ditemukan nilai harmonisnya. Nilai moral yang terkandung dalam tari
jaranan Turangga Yaksa yaitu seorang penari akan terbentuk watak halus, sopan
santun, disiplin, dan tanggap situasi. Nilai religius, yaitu pada gerak
sembahan yang berarti atau lambang berdo'a kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
ranah pendidikan, pembelajaran Tari Jaranan Turangga Yaksa pada siswa tidak
hanya dituntut untuk memperagakan gerak dalam tarian tersebut, tetapi siswa
juga harus paham tentang gambaran nilai-nilai yang ada pada kesenian Tari
Jaranan Turangga Yaksa itu sendiri. Dengan tujuan untuk mengembangkan
interpretasinya dalam memperkuat daya ungkap, pemahaman tentang jati diri
ataupun keberadaan hidup manusia serta hubungan dengan keberadaan dunia luar.
Sepanjang eksistensi jaranan Turangga Yaksa ini tidak
hanya mencuri hati para penikmat seni daerah setempat, namun juga masyarakat di
lua daerah (interlokal). Terbukti dengan dua tahun berturut-turut dipercaya
oleh Dinas Pendidikan Provinis Jawa Timur untuk tampil di acara Pergelaran Seni
Pertunjukan Padang Rembulan di Magetan dan Madiun. Selain itu, lewat grup
Turangga Yaksa “Krido Budoyo SMANESKA” tanggal 19 Mei 2013 tampil memukau dalam
mengikuti festival Majapahit Travel Fair 2013 oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Jatim dan tanggal 7 Oktober 2013 lalu mendapat kehormatan sebagai bintang tamu
untuk tampil di acara JATIM FAIR 2013 di Grand City, Surabaya.
Gambar 1.4 Penampilan di acara Pergelaran Seni Pertunjukan Padang Rembulan Tahun 2013 (Dok. Smaneska Trenggalek) |
Gambar 1.5 Penampilan grup Turangga Yaksa “Kridho Budoyo SMANESKA” di Majapahit Travel fair 2013 (Dok. Smaneska Trenggalek) |
(Admin/Zan) - #Lassvera
Sumber :
1) Tari Jaranan Turangga Yaksa Pertimbangan Tari Jaranan Turangga Yaksa Sebagai Identitas Lokal Kaitannya Dengan Penanaman Nilia-Nilai Pendidikan Pada Siswa SMA Negeri 1 Trenggalek.
2) Turangga Yaksa: Menghentak Nggalek
3) Fanpage : Turangga Yaksa
1 comments:
Ulasan yang menarik (y)
Post a Comment