Memang ada, yang pengen 'numpang' dengan masuk ke sekolah / lembaga pendidikan terkenal bahkan kualitas terbaik. Anggapannya, dengan dia masuk sekolah terkenal maka dia bisa ikutan tenar. T'rus dengan dia yang biasa-biasa saja, bisa masuk sekolah yang berkualitas, maka namanya akan ikut dicap berkualitas bak papan atas.
Belum lagi adanya sentralisasi fasilitas hingga subsidi yang cenderung diperuntukkan untuk sekolah paporit saja. Belum lagi labeling alumni sekolah paporit yang dianggap kehormatan. Ya, yang katanya layak. Jadi, sekolahnya sudah hits, muridnya tak kalah hits, para pengajarnya pun pasti hits, eh dapet bantuan fasilitas atau subsidi yang bikin makin hits juga, dan diperlakukan sehits-hitsnya. Jadi keluarlah kata-kata, "nguyahi segoro". Artinya bisa tanya tante Google.
Fenomena ini berpeluang membentuk generasi muda yang tumbuh depresi. Kok bisa? Karena sejak seumur jagung, para orang tua sudah kebakaran jenggot untuk memasukkan anaknya di sekolah paporit. Ya, namanya juga mengusahakan yang terbaik. Perkara harapan yang tak sesuai kenyataan, cukup legowo.
Mengenyam pendidikan di sekolah terkenal dan berkualitas paling baik, mungkin bisa menjadi sesuatu yang membanggakan. Namun, hal yang membuat dirimu dibanggakan orang lain, tetaplah pencapaianmu. Usahamu dan prestasi yang kamu raih. Lembaga pendidikan (sekolah) hanyalah wadah. Di mana pun, yang paling penting adalah usaha untuk tumbuh lebih mandiri.
Ada lagi sebuah refleksi, "Orang tidak peduli seberapa hebat kita, seberapa pintar kita dengan nilai-nilai kita. Lulus seberapa cepat dan berapa panjang gelar yang didapat. Yang mereka pikirkan, apakah dengan keberadaan kita akan bermanfaat untuk mereka, untuk orang lain, terlebih untuk membantu sesama?".
Terima kasih sudah berkunjung.
Instagram: zanza_bela
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment