Memang ini bukan pengalamanku, tetapi cerita-cerita dari orang di sekitarku akhirnya membuatku gemas. Salah satunya adalah yang ingin ku tuliskan disini. Belakangan seseorang yang ku kenal sejak tahun 2012 sebut saja anggrek, bercerita tentang keluarganya tanpa pernah sekali pun aku bertanya. Karna bagiku urusan keluarga adalah privasi, dan aku terlalu sungkan untuk kepo. Jadi meskipun sudah lama kenal, tapi ini kali pertama dia mau bercerita dan terbuka tentang kondisi orang tuanya kepadaku.
Ayah dan ibunya sudah lama tidak hidup satu atap. Ayahnya sudah lepas tangan dari tanggung jawab untuk memberi nafkah keluarga, bahkan anggrek dibiayai oleh tante dan saudara-saudaranya untuk menuntaskan kuliah. Saudaranya juga tidak berat hati jika harus ikut membiayai pernikahan anggrek jika suatu saat nanti menikah dan ayahnya tidak mau menanggung. Bahkan ayahnya juga sudah memiliki wanita lain. Tapi saktinya, orang tua anggrek tidak bercerai. Masih berstatus suami istri hingga saat ini.
Rasa penasaranku muncul, dan dengan hati-hati aku menanyakan mengapa bisa demikian.
Secara terbuka temanku itu menjelaskan. Karena status si ayah yang seorang abdi negara (ASN) dan dulunya pernikahan didaftarkan secara aturan negara (maaf teman saya lupa tentang ini jadi tidak menjelaskan lebih lanjut). Hal itu membuat perceraian tidak mungkin dilakukan antara keduanya, prosesnya sulit katanya. Dan ketika bercerai maka gaji sang ayahnya akan dipotong (tidak sebanyak saat ini). Padahal gajinya pun tidak diberikan ke anggrek dan ibunya, justru untuk "wanita lain" tadi.
Padahal ayahnya sudah tidak memberi nafkah dan bahkan sudah punya wanita lain. Berarti secara tidak langsung, ibu anggrek membiarkan si ayah untuk menafkahi wanita lain tadi dengan gaji utuhnya sebagai ASN. Padahal sepeser pun dia tidak mendapat nafkah. Kok bisa seolah-olah seperti legowo gitu ya? Ah, tentu isi kepala mereka punya sudut pandang sendiri, yang tidak ku ketahui apa pertimbangannya.
Anggrek, kakak dan ibunya juga masih rukun dengan ayahnya. Masih sering ku lihat anggrek berkomunikasi dengan ayahnya melalui telepon. Ya seperti yang selama ini biasa ku lihat, dan karena sebelum-sebelumnya tidak tahu, ku pikir keluarganya baik-baik saja dan bahagia.
Selama ini, banyak sinetron, film atau novel yang begitu mengagung-agungkan cinta sejati, hubungan keluarga harmonis, pasangan setia sampai akhir hayat, romantisme keluarga yang hangat dan lain-lain. Tapi melihat anggrek, ku lihat masih damai saja, harmonis dengan jalannya masing-masing. Maksudku, mereka masih "berdamai" dan melanjutkan sebagaimana kehidupan musti berjalan. Anggrek juga bukan anak yang pemurung, dia lulus tepat waktu dan karir pekerjaannya cukup bagus. Ya baginya, kebahagiaan mamanya adalah yang utama. Tapi meski berkonflik dengan ayahnya, lantas itu tak dijadikannya alasan untuk membenci, memberontak atau mengeluh sepanjang waktu.
Sesekali waktu, diriku mulai berpikir dan mencoba menggali sudut pandang lain.
"Apa ibu anggrek sudah move on ya? Makanya bisa sesakti itu untuk tidak bercerai dan membiarkan suaminya hidup sesuka hatinya."
Begitulah pemikiranku. Pemakluman seseorang terhadap pasangan, memilih diam atau mungkin sudah level "terserah dia saja", ku maknai itu langkah move on.
"Moving on doesn't mean you forget about things. It just means you have to accept what happened and continue living".
Ya, move on itu tidak berarti memaksa kita untuk melupakan sesuatu. Tapi menerima apa yang telah terjadi dan melanjutkan hidup. Dan membenci juga bukan cara terbaik untuk melupakan.
Memfokuskan diri untuk mendapatkan kehidupan lebih baik, untuk diri sendiri dan anak. Berpikir bagaimana esok dan selanjutnya masih bisa produktif, daripada terbelenggu dengan kebencian dan kekecewaan. Ah, aku juga heran bisa ngetik kayak gini dapat wangsit darimana. Wkwkwk.
T'rus cinta itu yang kayak gimana?
Cinta itu apa sih?
Inginku berkata EMBUH.. Hakzz...
Diriku seperti teringat dengan nasihat yang entah datangnya dari dalam pikiranku sendiri atau sebelumnya ada yang pernah berbisik ke telingaku. Ini nasihat sudah sangat lama ku-Aamiin-i.
"Semua orang memaknai bagaimana cinta bekerja dengan kisah yang berbeda. Ada yang menuntut untuk saling membalas, yang artinya memegang teguh kesetiaan dan antara satu sama lain adalah sumber kebahagiaan. Tapi ada juga yang memaknai dimana cinta artinya membiarkan dia (orang yang kita cintai) bahagia tanpa harus memaksa kita sendiri yang akan jadi sebagai perantaranya. Perantara bisa melalui orang lain"
Kondisi kedua ini seperti kisah anggrek tadi. Pikirku, hebat ya. Kalau disandingkan dengan kisah asmara remaja yang sedikit-sedikit cemburu, rasanya kok childish sekali. Hehehe.
Lalu, apa orang tua anggrek tadi benar "berjodoh"?
Apakah kalau sudah menikah lantas disebut sudah bertemu "jodoh"?
Bagaimana ciri kalau seseorang itu adalah "jodoh"?
Apakah mungkin ketika sudah menikah di dunia (seperti kisah anggrek), lantas bertemu "jodoh sebenarnya" di surga?
0 comments:
Post a Comment