5/13/20

Lingkungan Keluarga Membentuk Persepsi "Cinta"

Sedang gemas jemariku ingin ikut membahas mengenai salah satu trending topic dan banjir komentar di Twitter. Sebenarnya sudah jadi trending beberapa hari lalu, tapi diriku perlu waktu untuk mengalahkan rasa malas dan mulai menulis panjang. Hahaha...

"Emang apa sih yang trending itu?"

Untuk teman-teman yang mungkin belum tahu. Ini cuitannya.


Bagaimana pendapat teman-teman?

Tapi dalam tulisan ini yang akan menjadi fokus pembahasan adalah pengaruh lingkungan keluarga (orang tua) seseorang "bertumbuh" kemudian membentuk persepsi (frame of reference dan field of experience) orang tersebut dalam memaknai dan menjalin hubungan asmara. Bahkan memaknai "ketidaknyamanan" yang sebenarnya menurut lawan alias pasangannya dirasa normal, namun bagi satu lainnya dinilai sebaliknya. Seperti ada ketidaknyamanan sepihak.

Oh, sebelum dilanjutkan, ini detail cuitannya.




Keluarga memang tempat "bertumbuh" yang akhirnya membentuk karakter dan pola pikir anak. Nah, berangkat dari cuitan dan beberapa pengalaman teman terdekat, menurut saya ada dua jenis kategori keluarga (dimana lingkungan "bertumbuh" tadi) yang kemudian mempengaruhi seseorang memaknai hubungan asmara tersebut.

Yang pertama, seseorang yang "bertumbuh" dari orang tua yang menikah tanpa cinta (mungkin dijodohkan/sejenisnya). Anak yang tumbuh dari keluarga ini bisa jadi memiliki persepsi berbeda dengan kondisi yang kedua, yaitu seseorang yang "bertumbuh" dari orang tua yang menikah berlandas saling cinta.

Saya berharap rangkaian kata saya tidak mulek alias tidak membingungkan hehehe. Karena sejujurnya bagi saya agak sulit untuk menemukan diksi yang tepat demi mengekspresikan apa yang ada di pikiran saya mengenai topik ini.

Kondisi keluarga pertama.
Bagi anak dalam kondisi ini, memaknai pasangan yang tidak nyambung, pasangan yang tidak memberi rasa nyaman, bisa jadi hal biasa baginya. Ia terbiasa melihat figur orang tuanya bersikap dingin dan bertahan antara satu sama lain bukan semata-mata karena cinta dan rasa nyaman. Jangankan mengedepankan "nyambung", mungkin masing-masing sudah mengabaikan rasa nyaman itu sendiri. Dengan seiring berjalannya waktu, mereka mengesampingkan kenyamanan diri (yang didapat dari pasangan) dan mereka semata-mata bertahan hanya karena anak-anak dan keluarga besar. Sudah mulai mulek? Sama. Saya yang nulis juga mulek, wkwk. Di keluarga ini, pasangan orang tua sudah tidak lagi menuntut untuk saling memberi rasa 'nyaman', kehidupan terus berlanjut ada hal-hal urgent yang menguras fokus dan lebih mereka pikirkan daripada mengedepankan "kenyamanan" personal. Sehingga anak yang "bertumbuh" dari keluarga ini bisa jadi terbiasa memendam ketidaknyamanan, menganggap ketika merasa tidak nyaman atau tidak nyambung dengan pasangan, ya itu normal. Karena figur orang tuanya pun demikian.

Berbeda dengan kondisi keluarga yang kedua.
Dalam kondisi ini, anak lahir dari pasangan orang tua yang saling mencintai, hangat di tengah keluarga, pokoknya pasangan ideal deh. Memberi rasa nyaman dan memiliki pasangan yang "nyambung" bisa jadi hal yang have to get (keharusan) bukan nice to get. Referensi si anak pun juga akan menerapkan hal serupa ketika ia menjalin hubungan asmara. Ketika ia tahu pasangannya merasa tidak nyaman bersamanya, tidak nyambung, maka bisa jadi ia akan menilai hubungan itu cacat, tidak ideal. Dia mengharapkan hubungan asmaranya akan seperti lingkungan dimana dia "bertumbuh". Yang hangat, saling memberi kenyamanan, saling memahami, ideal.

Yang menyengsarakan adalah ketika perempuan dan laki-laki dari dua kondisi keluarga ini menjadi pasangan yang menjalin hubungan. Semisal perempuan (P) dari kondisi keluarga pertama, laki-laki (L) dari kondisi kedua.

Si P akan merasa sangat normal ketika melihat kenyataan bahwa pasangannya tidak nyambung yang berakibat tidak memberikan rasa nyaman. Baginya, sebuah kenyamanan adalah hal yang nice to get (bukan keharusan), selama keduanya saling menghormati dan bertanggung jawab. Si P memiliki rasa maklum karena ia melihat kedua orang tuanya saja bisa bertahan dan melanjutkan hidup tanpa mengedepankan rasa nyaman personal antara satu sama lain. Si P akan sangat tidak mempermasalahkan jika ia mendapat hal serupa seperti apa yang dirasakan orang tuanya. Namun, ketika si L mengetahui fakta ini, kemudian dia merasa menjadi pasangan yang cacat dan nantinya tidak bisa menjadi suami ideal bagi si P (seperti figur ayahnya). Ya, karena referensi dan pengalaman dia "bertumbuh" dari keluarga yang hangat, ideal. Ketidaknyamanan yang dirasa si P, dan menurut si P sebenarnya tidak menjadi masalah, bahkan lumrah akan berkebalikan dengan yang dirasakan si L. Tak jarang L akan mempermasalahkan hal ini dan terjadilah ketidaknyamanan sepihak tadi.

Inginku menulis lebih jauh bagaimana peluang kisah antara P dan L ini. Apakah berakhir atau justru bermuara ke jenjang yang lebih serius? Ehmmm.... tapi tulisan ini hanya berfokus membahas tentang faktor keluarga membentuk persepsi soal "cinta".

Sekali lagi, semoga tidak mulek dan easy reading. Hehehe..
Terima kasih sudah mampir.




0 comments:

Post a Comment