7/2/18

Bijak Berinternet


Dalam 2-3th belakangan ini sering sih nemui EO/wartawan/produser/rekan kerja (konteksnya entertain) yang selain nanya nama yang kedua adalah akun sosmed (yang sering ditanyain Instagram waktu itu). Pikirku, kenapa ya nanyain IG? Mereka juga nggak nyari endorser kok. Dan ada juga yang akhirnya ngajak event atau nawari kontrak setelah mereka stalking Instagram.

Bagi sebagian orang yang mungkin berpaham konvensional, "media sosial bukanlah cerminan diri yang asli. Hanya untuk bersenang-senang dan seru-seruan bareng teman. Mereka tidak mau dinilai berdasar status yang mereka post atau share di sosmed mereka"

Tapi saya pernah berpikir bagaimana kalau justru di dunia daringlah mereka menunjukkan sifat aslinya? Yang mungkin dia tidak bisa menjadi diri sendiri di kesehariannya, lalu melampiaskan di dunia maya. Meskipun ada juga beberapa orang yang di dunia daring maupun sosialisasi sehari-harinya tetap sama alias istiqomah. Nggak dibuat-buat, tetap aja sama-sama kocak, menampilkan ya apa adanya dirinya.

Lantas bukan berarti ini berkesan menyalahkan paradigma konvensional tadi, oh bukan. Tapi realisasinya, masyarakat millenial juga tidak segan menjadikan isi media sosial kalian sebagai bahan atau bahkan indikator audisi. Ya, ini (mungkin) tidak berlaku untuk semua hal atau semua bidang pekerjaan. Recruitment untuk posisi seorang penjahit juga perlu pembuktian skill, harus diuji praktik menjahitnya. Berbeda dengan orang yang mencari seorang make up artist, bisa saja (cukup) dengan stalking media sosial, melihat porfolionya dan itu menjadi bahan seseorang menilai apakah riasan MuA tersebut 'yay' or 'nay'.

Nah, jadi kalau ada user yang repot mikirin feed, ruwet ngatur komposisi foto yang diupload, nata tone gambar yang akan dipost, take fotonya rewel banget, dll bisa jadi mereka sedang menyiapkan CV digital mereka di media sosial dan siap-siap distalking produser *eeaaakkkk.

Dari pengalaman kompetisi, sosmed dimasukkan dalam penilaian bukan untuk semata-mata untuk menilai 'saklek' oh orang ini baik atau tidak baik. Tetapi bahan pertimbangan seberapa positif orang itu, bagaimana kepribadian dia ketika tidak dalam masa kompetisi, dll.

Nah, zaman sekarang tulisan atau narasi panjang kali lebar kurang menarik, kurang mengena dan mungkin pusing dibaca. Kebetulan saya menemukan video yang sekiranya bisa mewakili tulisan saya. Singkat, padat dan jelas.

Semoga bisa diambil pesan baiknya dan menjadi pribadi yang lebih positif baik di dunia daring atau sehari-hari.

Hati-hati dengan apa yang kalian posting dan hati-hati ketika jari anda meninggalkan jejak komentar di media sosial.

Semoga bermanfaat.

0 comments:

Post a Comment