Tulisan kali ini akan sedikit mengulas kisah kelompok pelestari ludruk yang ada di Ponorogo bernama Suro Menggolo.
Ketika menyaksikan pementasan ludruk grup ini, sekilas tampak seperti normal-normal saja. Mungkin akan merasa biasa-biasa saja. Sekumpulan orang lengkap dengan rias dan busana mementaskan lakon cerita tertentu. Tetapi, ketika Anda coba perhatikan dalam-dalam, barulah kalian akan menyadari sesuatu yang unik dari sekelompok pemain ludruk tersebut. Bagi saya, hal yang sangat jarang saya temui.
Doc. Yanu |
Ada yang menyebut kelompok tersebut sebagai ketoprak waria. Keberadaan waria di panggung ludruk tampaknya sudah bukan hal baru. Jika mengutip makalah Eksistensi Transgender dalam Hiburan Masyarakat Pedesaan (Ganisa Putri Rumpoko), waria muncul karena adanya aturan di pondok pesantren bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh satu panggung saat pamentasan. Akhirnya ludruk diisi pria yang berdandan layaknya perempuan untuk menggantikan peran perempuan asli.
Jika membaca situs Ludruk Suro Menggolo kalian akan membaca penjelasan panjang dan detail mengenai bagaimana sejarah keberadaan waria di panggung ludruk. Meskipun saya pernah membaca di unggahan Nini Thowok, sang penari legendaris Indonesia, namun baru dari situs Suro Menggolo itulah saya lebih memahami secara mendalam.
Doc. Yanu |
Grup ludruk tersebut pentas setiap malam mulai pukul 21.00 - 24.00 WIB tanpa libur. Setiap pementasan, mereka tampil totalitas dengan rias dan kostum seolah benar-benar menjiwai perannya. Dan harga tiketnya pun dibandrol dengan harga Rp 4.000,- saja.
Bagaimana menurut kalian?
Merusak atau Menghibur?Referensi dan Sumber bacaan, baca juga Situs Ludruk Suro Menggolo
Dokumentasi : Yanu
0 comments:
Post a Comment