Kemarin saya mengunggah logo ini di akun instagram saya. Secara tidak terduga, ternyata banyak pesan masuk yang menanyakan hal-hal berkaitan dengan Satusfest, seperti pertanyaan Mbak ini acara apa ya?", "Kapan ini mbak?", "Kalender eventnya bisa diintip dimana?", lan sapanunggalane. Akhirnya saya putuskan menulis di lapak ini, supaya tidak terlalu berbusa menjelaskan dan ngetik panjang jika sewaktu-waktu masih ada yang mengajukan pertanyaan serupa.
Filosofi logo Satusfest 2020
Sebelum membahas lebih jauh mengenai Satusfest, saya ingin reshare tentang makna dan filosofi logo tersebut (sumber: instagram Satusfest 2020). Tentu logo warna warni tersebut dibuat bukan tanpa makna atau tanpa alasan. Ada misi untuk menyampaikan semangat dan value dibalik simbol tersebut.
Merayakan yang dibanggakan. Satusfest adalah bentuk kebanggaan dan kecintaan terhadap Kabupaten Trenggalek. Setiap event-nya menjadi wujud pemersatu masyarakat lokal untuk mengingat apa yang mereka miliki, merawat dan diwariskan, merayakan yang menjadi kebanggaan mereka.
Satusfest juga menjadi ajang untuk mengimplementasikan semangat pariwisata dan e-Goverment sebagai fokus tema pembangunan Kabupaten Trenggalek tahun 2020.
Logo tersebut terdiri dari logomark yang berbentuk angka 100 untuk identifikasi angkat dalam bahasa Jawa yaitu "satus" yang artinya seratus. Kemudian logotype yang bertuliskan "Satusfest Trenggalek 2020 100 Events 1 Year" berfungsi menerangkan nama festival.
Sedangkan aspek material logo tersebut meliputi elemen-elemen yang menjadi ikon kebanggan Trenggalek, sekaligus ikon event yang selama ini sudah pernah dihelat.
Aspek material logo Satusfest
Jika dilihat lebih mendetail, terdapat ikon turangga yaksa, tugu garuda, pendopo, gate van dilem, paralayang, stand up padle, penyu kili-kili, bunga cengkih, manggis, durian, dan lain-lain. Ikon-ikon ini menjadi representasi sumber daya alam atau daya tarik yang ada di Kabupaten Trenggalek.
Berlanjut soal warna logo. 4 warna ini dipilih bukan karena warna favorit penciptanya. Hehehe... warna merah, orange, hijau dan biru diambil berdasar referensi SDA dan SDM di Trenggalek.
Apa yang ingin disampaikan melalui warna-warna tersebut?
Warna merah bermakna pada cinta dan kasih sayang, kehangatan pada sesama. Sedangkan warna orange mengacu pada semangat masyarakat Trenggalek. Untuk warna biru cenderung pada sumberdaya alam yaitu laut Trenggalek yang luas dan indah. Dan warna hijau sendiri merepresentasikan vegetasi yang subur di dataran Trenggalek.
Untuk informasi warna grafis logo Satusfest 2020, sebagai berikut :
Tahun-tahun sebelumnya, Kab. Trenggalek juga memiliki puluhan bahkan ratusan festival. Namun di tahun 2020 ini ada 100 festival yang sudah disusun untuk direalisasikan. Melalui tajuk SATUSFEST ini harapannya dapat menjadi satu identitas nama festival selama tahun 2020 dan semakin menarik antusiasme masyarakat.
Kalau menurut penilaian pribadi, tajuk Satusfest 2020 ini seperti upaya branding pemkab dalam rangkaian semarak kegiatan penunjang pariwisata selama tahun 2020 ini. Masih agak speechless sih, 100 itu bukan angka kecil. Hehehe... Semoga terlaksana dan memberikan imbas positif untuk masyarakat Trenggalek.
"Kapan mbak acaranya?"
Ya sepanjang tahun 2020. Mulai bulan Januari sampai Desember 2020. Hehehe...
Nah, untuk teman-teman sebangsa dan setanah air yang ingin mengetahui jadwal kegiatan Satusfest selama tahun 2020 beserta PIC masing-masing kegiatan, silahkan unduh di sini. Sedangkan di bawah ini versi official CoE yang diunggah oleh Tim Kreatif Satusfest.
SATUSFEST Calender of Event
Kalian juga bisa mengikuti semua update informasi dari akun resmi Satusfest 2020 melalui instagram @satusfest.trenggalek2020.
KONSEP DASAR dan FILOSOFI
Konsep dasar design baju pakem Paguyuban Kakang Mbakyu Trenggalek terdiri dari:
1. Pakem Kakang (Terlampir)
a. Blangkon
b. Kuku Macan
c. Sorjan
d. Centhing
e. Panyingset
f. Keris
g. Jarik wiru
h. Slop
2. Pakem Mbakyu (Terlampir)
a. Konde
b. Mawar
c. Anting
d. Rias Wajah
e. Kebaya
f. Slendang
g. Bros
h. Cincin
i. Centhing
j. Jarik wiru
k. Heels
l. Hijab
3. Filosofi
a. Blangkon
Blangkon yang digunakan adalah gagrag Ngayogyakarta Hadiningrat dengan bendhol serta ujung ikatan blangkon berbentuk runcing kesamping sebagai simbol keseimbangan. Dapat disebut Blangkon Jebeh Senopaten. Jenis kain bebas, hanya saja motif yang digunakan adalah bledhak.
b. Sorjan
Baju Kakang yang semula beskap berubah menjadi sorjan motif udan liris berbahan tenun asli Trenggalek . Sedang pada bagian kerah baju, diberi dua kacing emas tambahan berukuran kecil sebagai bentuk ketegasan seorang Kakang.
c. Keris
Keris sebagai pusaka Kerajaan Mataram juga turut menjadi simbol adat Kabupaten Trenggalek. Berdasarkan sejarah, Kabupaten Trenggalek pernah terpecah menjadi dua wilayah yang masuk kedalam pemerintahan Keraton Surakarta dan Ngayogyakarta. Berdasarkan diskusi Paguyuban Kakang Mbakyu Trenggalek serta prosesi dan penggunaan adat pada Hari Jadi Kabupaten Trenggalek ke 825 yang menggunakan gagrag Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, sehingga pada pemilihan keris-pun, Paguyuban Kakang Mbakyu Trenggalek menyepakati penggunakan gagrag Ngayogyakarta Hadiningrat. Sengkelit (menyelipkan keris pada Centhing) yang dipilih adalah nyothe ngajeng yaitu menyelipkan keris pada centhing menempel dibagian perut sebelah kiri, menggambarkan kesiapan kesatria pariwisata yang siap ditugaskan untuk mempromosikan pariwisata, melawan hoax dan menjadi simbol pemuda Kabupaten Trenggalek. namun ketika berhadapan dengan bupati atau pengarsa lain, maka keris dipindahkan ke belakang
d. Kuku Macan
Dari berbagai macam pilihan hiasan baju adat, Paguyuban Kakang Mbakyu Trenggalek memilih kuku macan. Hal ini tidak semata karena memang mudahnya mendapatkanya namun, kuku macan mencerminan kewibawaan dan ketangkasan sebagimana macan (harimau).
e. Centhing
Centhing adalah sarana pengikat jarik dengan perut. Warna merah menandakan kematangan bersikap bagi kakang dan cepat mengambil keputusan.
f. Panyingset
Panyingset (ikat pinggang) hanya digunakan oleh kakang. Mbakyu tidak mengenakanya, karena panyingset memiliki gambaran ketegasan pemimpin / pengayom sebagai laki-laki sedangkan Mbakyu lebih pada kelembutan dan keindahan cerminan pendamping laki-laki. Warna dasar hitam dengan kebebasan penggunaan warna tambahan. Menggambarkan sarana mempererat centhing dengan penggunanya.
g. Konde
Konde dijadikan media hiasan kepala oleh wanita dari berbagai macam adat di Indonesia. Pada adat Jawa, khususnya Trenggalek terdapat berbagai macam model dan jenis konde. Namun, Paguyuban Kakang Mbakyu Trenggalek telah menyepakati untuk memilih gagrag Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai acuan.
h. Hijab
Hijab menjadi pilihan kedua ketika Mbakyu tidak mengenakan Konde. Pemakaian hijab diawali dengan menggunakan kerudung ninja berwarna hitam, kemudian kerudung kedua menggunakan warna putih tulang. (gambar terlampir)
i. Mawar
Pada setiap penggunaan baju pakem, Mbakyu Trenggalek sejak dulu selalu menggunakan hiasan bunga mawar dibelakang telinga. Selain menambah keindahan, juga sebagai simbol kewibawaan sebagai Gadis Jawa. Untuk jenis mawar yang digunakan adalah mawar merah, yang berada di belakang kedua telinga. Paguyuban Kakang Mbakyu Trenggalek merencanakan untuk selalu menggunakan mawar asli (bunga hidup). Namun tidak menutup kemungkinan jika saat bertugas Mbakyu kesulitan mendapatkan bunga hidup, maka bisa diganti dengan bunga palsu yang menyerupai mawar asli.
j. Anting
Anting hanya digunakan oleh mbakyu yang tidak berhijab, jenis anting yang digunakan adalah ceplik (anting tidak menggantung tapi menancap di telinga). Sebagai penambah keanggunan gadis Jawa.
k. Rias Wajah
Riasan wajah pada mbakyu disesuaikan dengan kebutuhan. Penggunaan make up yang berlebihan, tidak diperkenankan. Pada Kakang, saat menggunakan baju pakem Kakang Mbakyu Trenggalek, tidak diperkenankan memanjangkan kumis dan jambang. Penggunaan make up yang berlebihan pada Kakang juga tidak diperkenankan.
l. Kebaya
Kebaya yang digunakan berwarna putih tulang, menyelaraskan jarik bledhak, dan tidak menggunakan kutu baru, karena kutu baru hanya digunakan oleh wanita Jawa yang sudah menikah. Sedangkan Mbakyu yang sudah menikah namun tetap aktif di Paguyuban ketika menggunakan kebaya, diharuskan memakai kebaya dengan kutu baru.
m. Selendang
Sebagai tambahan hiasan pada baju pakem Mbakyu, digunakan pula selendang dengan warna dan motif yang sama dengan jarik. Penggunaanya disampirkan di bahu sebelah kanan dari depan kebelakang menjuntai menuju tangan kiri bagian dalam dan berakhir di bagian luar pergelangan tangan kiri. Pemakaian selendang pada jaman dahulu adalah untuk menggendong dan menimang anak, sehingga bagi Mbakyu Trenggalek mempunyai makna filosofis bahwa wanita haruslah ingat bahwa ia akan menjadi ibu sehingga harus siap mendidik putra putrinya suatu saat nati. Sehingga sang anak bisa patuh terhadap orangtua dan menjadi manusia Jawa yang njawani.
n. Bros
Tidak ada pakem khusus dalam penggunaan bros, karena digunakan sebagai asesoris penambah keindahan bagi mbakyu.
o. Cincin
Sebagaimana bros dan anting, jenis bahan dan model cincin tidak dibatasi. hanya saja ketiganya wajib digunakan Mbakyu saat bertugas.
p. Jarik wiru
Jarik merupakan pakaian penutup tubuh bagian bawah yang dikenakan oleh masyarakat Jawa pada jaman kerajaan. Cara Pemakaianya menggunakan gagrag Surakarta yakni jarik diwiru (dilipat kecil pada sisi kanan) dengan jumlah ganjil. Pada Kakang dilipat selebar 3 jari, sedangkan Mbakyu dilipat selebar 2 jari dengan timpalan (kain batas luar jarik) disembunyikan. Bagi Kakang, pemakaian jarik yang sudah diwiru dimulai dari kiri ke kanan dan wiru berakhir di tengah, sejajar dengan pusar. Sedang bagi Mbakyu berlaku kebalikannya. Hal ini menggambarkan bahwa Kakang dan Mbakyu merupakan gambaran hal yang bertolak belakang namun saling melengkapi. Setelah pemakaian jarik selesai, dilanjutkan dengan mengencangkanya dengan rafia, kemudian ditutup dengan centhing, serta ditambah panyingset bagi Kakang.
Jenis batik jarik yang digunakan adalah Bledhak Trenggalek. Dengan menggunakan contoh Bledhak dari Mbah Watiyah (pembatik asli Trenggalek), menurut penuturan beliau, bledhak merupakan jenis batik yang terdiri dari 2 warna saja menggunakan pewarnaan alami, serta masih menggunakan proses tradisional dalam pembuatanya. Sehingga kesan klasik akan muncul pada batik ini.
q. Heels
Mbakyu diharuskan menggunakan heels saat mengenakan pakem, hal ini sebagai penambah keanggunannya. Saat bertugas dengan Kakang, heels yang digunakan tidak boleh membuat Kakang terlihat lebih pendek dari Mbakyu, sehingga fleksibilitas ukuran tinggi diperkenankan. Jenis heel bebas hanya saja warna harus hitam, menyelaraskan slop Kakang yang juga berwarna hitam.
i. Selop
Sebagaimana Mbakyu yang memakai heel, Kakang diharuskan menggunakan sandal selop sebagai alas kaki, dengan warna hitam.
SECARA KHUSUS,.
PAKEM, KAKANG MBAKYU TRENGGALEK MENGENAKAN HASIL PRODUK LOKAL DENGAN DIPADUKAN DENGAN PENGGALIAN SEJARAH CUKUP DALAM UNTUK MENEMUKAN IDENTITAS DAERAH.
JARIK, BLANGKON, DAN SLENDANG, MENGGUNAKAN JENIS BATIK BLEDHAK ,JENIS BATIK TULIS YANG TERDIRI DARI 2 WARNA DENGAN DOMINAN WARNA PUTIH YANG BERASAL PEWARNAAN ALAM, SEHINGGA KESAN KLASIK DAN ELEGAN MUNCUL PADA BATIK INI.
PEMADUAN 2 GAYA BUSANA, ADAT YOGYAKARTA DAN SURAKARTA TURUT MENJADI PERTIMBANGAN DALAM PENYUSUNAN PAKEM DUTA WISATA TRENGGALEK, YANG MANA SECARA HISTORIKAL TRENGGALEK PERNAH TERBAGI ATAS 2 WILAYAH KEKUASAAN TERSEBUT.